Namo Buddhaya, Selamat Datang di Pelita Kehidupan ....Semoga Semua Mahluk Berbahagia....

Minggu, 27 Februari 2011

Empat Kebenaran Mulia


Sesudah Sang Buddha mengalami Pencerahan Sempurna dimana baru saja mengalami batin yang luhur, keleluasan dan kebajikan diri sejati, maka Beliau merasakan sangat sukar untuk dapat mengungkapkan pengalaman batinNya tersebut kepada pihak lain yang tidak akan bisa mengerti. Kemudian Sang Buddha berpikir, "Bagaimana seandainya aku hidup menghormati dan memuja AjaranKu sendiri yang telah kupahami sendiri?" Beliau terus merenung akan keraguan orang lain yang masih dikuasai oleh keserakahan dan kebencian dapat menyerap AjaranNya yang berjalan menentang arus, yang sulit dimengerti, mendalam, sukar dirasakan dan halus.

Namun dalam keraguanNya itu, muncullah di hadapan Beliau, Brahma Sahampati dari alam Brahma dan memohon kepadaNya, "Bangkitlah, O Pahlawan, pemenang dalam pertempuran, pemimpin iring-iringan, Yang bebas dari hutang, dan berkelana di dunia! Biarlah Yang Mulia mengajarkan Dharma. Akan ada yang mampu memahami Dharma."

Dengan kebijaksanaanNya yang tinggi, Sang Buddha memeriksa dunia, Beliau melihat makhluk dengan sedikit dan banyak debu di mata mereka, dengan kecerdasan yang tajam dan tumpul, dengan sifat yang baik dan buruk, makhluk yang mudah dan makhluk yang sulit untuk diajarkan Dharma, dan ada sedikit yang memandang kejahatan dan kehidupan setelah ini dengan ketakutan, kemudian Beliau menyapa Brahma Sahampati, "Terbukalah bagi mereka Pintu menuju keabadiaan. Biarlah mereka yang mempunyai telinga bersandar pada keyakinan. Sadar akan adanya kebosanan, O Brahma, Aku tidak mengajar di antara manusia, Dharma yang indah dan hebat."

Setelah menerima permintaan untuk mengajarkan Dharma berulang kali dari Brahma Sahampati, maka akhirnya Sang Buddha berpikir kepada siapa harus dimulai tugas agung pertama Beliau tersebut. Kemudian Beliau bermaksud mencari lima pertapa (Kondanna, Bhaddiya, Vappa, Mahanama dan Assaji) yang pernah menemaniNya dulu dalam cara pertapaan menyiksa diri. Setelah tiba di Taman Rusa di Benares, maka dengan penampilan Beliau yang demikian hebat telah memaksa ke lima pertapa untuk memberikan penghormatan. Sesudah meyakinkan para pertapa yang pada mulanya agak keras kepala untuk dapat menerima Ajaran Sang Buddha, akhirnya kelima pertama tersebut dapat dibimbing dan diberi petunjuk oleh Sang Buddha ke dalam bentuk pemahaman bahwa Kebebasan adalah merupakan pencapaian Nirvana [Nibbana] , yaitu bebas dari kelahiran, kelapukan, penyakit, kematian, penderitaan, dan nafsu keinginan.

Dalam khotbah Dharma pertama yang dinamakan Pemutaran Roda Dharma [Dharmacakra Pravartana/Dhammacakka Pavattana] , Sang Buddha menjelaskan Jalan Tengah [Madhyama Pratipada/Majjhima Patipada] yang telah Beliau temukan dimana merupakan intisari Ajaran Beliau. Beliau mengawali khotbah ini dengan menasihati ke lima pertapa yang waktu itu masih mempercayai cara bertapa menyiksa diri, agar dapat menghindari kemelekatan pada nafsu keinginan inderawi yang rendah [kamasukhallikanuyoga] dan cara bertapa menyiksa diri [attakilamathanuyoga] karena hal tersebut tidak akan membawa Kedamaian dan Kebebasan.

Manusia sebagai makhluk hidup memang lemah adanya dimana pada saat kita mati, keempat unsur --tanah, air, api, dan udara-- saling melebur satu per satu, dan akhirnya menyatu dengan alam semesta. Namun ketika kita hidup, kita berbagi energi yang mampu melakukan segala-galanya, dari sehelai rumput sampai menjadi seekor gajah, tumbuh dan hidup, kemudian yang tidak bisa dihindarkan, tua dan mati. Pemahaman bijaksana akan Kebebasan merupakan kelahiran yang terakhir sehingga akan bebas dari segala penderitaan.

Buddha Gautama bersabda : " Ia yang telah berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha, dengan bijaksana dapat melihat Empat Kebenaran Mulia, yaitu : dukkha, sebab dari dukkha, akhir dari dukkha, serta Delapan Ruas Jalan Kemuliaan yang menuju pada akhir dukkha. Sesungguhnya itulah perlindungan yang utama. Dengan pergi mencari perlindungan seperti itu, orang akan bebas dari segala penderitaan." (Dhammapada, 190 - 192 ).

1. Kebenaran Mulia tentang Adanya Penderitaan
Buddha Gautama menemukan bahwa pelenyapan dari penderitaan dimulai dengan mengakui kehidupan di dunia ini penuh dengan penderitaan. Jika direnungi kehidupan ini akan disadari, bahwa dunia penuh dengan penderitaan, baik penderitaan secara fisik maupun penderitaan secara mental. Penderitaan fisik terwujud dalam berbagai bentuk, dimulai saat kelahiran [jati], usia tua [jara], sakit [vyadhi] dan kematian [marana]. Sedangkan penderitaan mental antara lain; orang yang pikirannya diliputi dengan kebencian, merana, berpisah dengan orang yang dicintai, berkumpul dengan orang yang tidak disenangi, tidak tercapai kehidupan yang penuh diliputi oleh berbagai keinginan dan nafsu yang dirasakan oleh Lima Unsur Kemelekatan yang merupakan obyek yang dicerap oleh panca indera [pancarammana / pancalambana]; yaitu obyek bentuk (penglihatan), obyek suara (pendengaran), obyek bau (penciuman), obyek rasa ( pengecapan, perasaan) dan obyek sentuhan (persentuhan) ; termasuk keinginan akan kekayaan, teman yang menyenangkan, makanan minuman dan ketenaran.

Oleh karena itu, memahami keberadaan penderitaan hanyalah satu bagian dari proses. Bagaimana mengakhiri penderitaan, sehingga kita dapat bebas adalah tujuan terakhir tentang penderitaan dalam Ajaran Sang Buddha. Jika kita dapat memahami dengan jelas penyebab penderitaan itu dan menemukan jalan untuk mengatasinya, kita akan bebas dari lautan penderitaan yang dalam dan menikmati kebahagiaan sejati dalam kehidupan saat ini.

Demikian juga terdapat hakekat timbulnya suatu penderitaan yang disebabkan berbagai faktor ketidak-harmonisan :
- Ketidak-harmonisan antara benda-benda materi dengan diri kita.
- Ketidak-harmonisan antara orang-orang dengan diri kita.
- Ketidak-seimbangan antara tubuh dengan diri kita.
- Ketidak-seimbangan antara pikiran dengan diri kita.
- Ketidak-harmonisan antara keinginan dengan diri kita.
- Ketidak-harmonisan antara pandangan dengan diri kita.
- Ketidak-harmonisan antara alam dengan diri kita.

Penderitaan dan kebahagiaan pada hakekatnya sering terjadi karena ketidak-harmonisan antara pandangan dengan diri kita sendiri. Sudut pandang negatif sering menimbulkan cara berpikir pesimis, sebaliknya sudut pandang positif akan menghasilkan cara berpikir yang optimis, sebagaimana dapat dihayati pada cerita berikut ini.

Ibunda Yang Risau
Terdapat seorang nenek tua yang mempunyai dua anak perempuan yang menopang kehidupan keluarganya dengan masing-masing berjualan payung dan dupa. Anak perempuan pertama selalu mengharapkan hujan agar payungnya lebih laku. Sedangkan anak perempuan kedua mengharapkan matahari bersinar terang supaya dupanya dapat terjemur dengan kering.

Setiap kali hujan turun, ibunya yang sangat menyayangi kedua putrinya tersebut selalu merisaukan putrinya yang berjualan dupa, dan mengharapkan hujan segera berhenti. Sebaliknya kalau matahari bersinar cerah, ibunya juga merisaukan putrinya yang berjualan payung, dan mengharapkan agar segera hujan turun. Demikianlah kerisauan ibunda ini berjalan terus setiap hari, tanpa disadarinya dia telah terlarut dalam kesedihan dan penderitaan yang diciptakan oleh pikirannya sendiri.

Sampai suatu hari, datanglah seorang mahabhikshu yang melewatinya dan melihatnya sedang berkeluh-kesah. Mahabhikshu tersebut mulai menanyakannya, "Kenapa Anda bersedih sekali, apakah telah terjadi sesuatu yang menimpa keluarga Anda?" Ibu yang sangat menghormati kehidupan bhikshu ini terkejut dengan teguran tersebut dan segera memberikan hormat kepada mahabhikshu, dan menceritakan kejadian yang membuatnya hatinya risau dan sedih. Mahabhikshu yang setelah mengerti duduk perkara yang membuat ibu ini risau, maka menasehatinya, "Ibunda yang baik, mulai sekarang coba Anda memikirkan kebahagiaan putri Anda yang berjualan payung pada saat hujan, sedangkan pada saat matahari bersinar cerah pikirkanlah kebahagiaan putri Anda yang berjualan dupa. Dengan demikian Anda tidak perlu terlarut lagi dalam kesedihan."

Ibunda tersebut menuruti nasehat mahabhikshu, dan mulai memikirkan kebahagiaan putrinya yang berjualan payung pada saat turun hujan, sedangkan pada saat matahari bersinar cerah dia memikirkan kebahagiaan putrinya yang sedang menjemur dupa. Demikianlah akhirnya ibu ini tidak lagi menderita karena kerisauan pikirannya, tetapi dapat menjalani kehidupannya dengan berbahagia karena sudut pandang positifnya sendiri.

2. Kebenaran Mulia tentang Penyebab Penderitaan
Sebelum Buddha Gautama menemukan solusi terhadap masalah penderitaan dalam kehidupan ini, maka dihayati dulu penyebab dari penderitaan tersebut. Sebagaimana layaknya seorang dokter yang mengobservasi penyakit pasiennya dan mengidentifikasikan penyebab dari penyakit tersebut sebelum membuka resep obat. Buddha Gautama menemukan, bahwa penyebab langsung penderitaan adalah nafsu keinginan rendah dan kebodohan batin/ketidak-pedulian.

Nafsu Keinginan Rendah [trsna/ tanha]
Nafsu keinginan rendah merupakan suatu kemauan yang dalam terhadap kesenangan jasmani, rohani dan nafsu keduniawian. Sebagai contoh, setiap orang selalu ingin mencari makanan yang enak, permainan yang baru dan teman yang menyenangkan. Tetapi hal tersebut biasanya tidak memberikan kepuasan yang kekal. Sesudah makanan enak selesai disantap, permainan baru sudah dimainkan, teman yang menyenangkan sudah ketemu, masih saja dirasakan adanya yang kurang. Walaupun demikian tetap saja orang selalu ingin menikmati kembali kesenangan tersebut dalam kesempatan apapun dan sesering mungkin.

Orang yang ingin memiliki segala sesuatu tidaklah pernah merasa puas. Seperti anak kecil ketika diajak ke toko mainan, mereka ingin semua mainan menarik yang dapat ditemukannya. Tetapi sebentar saja anak-anak tersebut akan merasa bosan dengan apa yang telah mereka dapatkan dan menginginkan kembali sesuatu yang baru. Kadang kala mereka sampai tidak ingin makan dan tidur hanya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Walaupun kemudian ketika mereka mendapatkannya, tetap saja kegembiraan mereka tidak berakhir panjang. Kebanyakan mereka juga merasa khawatir akan kehilangan barang mainan kesayangannya yang baru. Sehingga seandainya barang mainan baru tersebut jatuh dan pecah, dimana terpaksa harus dibuang, maka mereka akan merasa kecewa dan sedih.

Adakalanya ketika kita sudah mendapatkan sesuatu yang diinginkan masih saja kita menginginkan lebih, sehingga timbul keserakahan. Karena keinginan dan keserakahan, maka orang akan berbohong, menipu dan mencuri untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Keinginan yang tidak dapat dikontrol akan menyebabkan ketagihan, misalnya merokok, minum minuman keras, makan berlebihan, dimana semuanya akan menyebabkan kerusakan mental dan fisik sehingga menimbulkan penderitaan. Selama akar nafsu keinginan rendah masih belum dihancurkan, maka penderitaan akan timbul berulang kali.

Buddha Gautama bersabda : " Sebatang pohon yang telah ditebang masih akan dapat tumbuh dan bersemi lagi, apabila akar-akarnya masih kuat dan tidak dihancurkan. Begitu pula selama akar nafsu keinginan tidak dihancurkan, maka penderitaan akan tumbuh berulang kali." (Dhammapada, 338)

Jika seseorang dihalangi untuk mendapatkan apa yang dia inginkan, maka akan menimbulkan kemarahan orang tersebut. Keinginan yang dihalangi dapat menimbulkan kebencian dan kemarahan. Sehingga dapat berbalik menjadi caci-maki, pertengkaran mulut dan bahkan perkelahian atau pembunuhan. Semua ini merupakan penderitaan yang mana akan memperkuat ikatan belenggu bagi dirinya sendiri.

Buddha Gautama bersabda : " Orang yang pikirannya kacau, penuh dengan nafsu, dan hanya melihat pada hal-hal yang menyenangkan saja, maka nafsu keinginannya akan terus bertambah. Sesungguhnya orang seperti itu hanya akan memperkuat ikatan belenggunya sendiri." (Dhammapada, 349)
Kebodohan batin [moha]

Keinginan atau kemauan seperti sebatang pohon besar yang memiliki banyak cabang. Ada cabang keserakahan, cabang kebencian dan cabang kemarahan. Buah yang muncul dari cabang tersebut adalah buah penderitaan, tetapi bagaimana pohon keinginan ini masih bisa tumbuh ? Dimana pohon tersebut dapat tumbuh ? Jawabannya adalah pohon tersebut berakar pada ketidakpedulian atau kebodohan batin. Pohon tersebut tumbuh karena ketidak-pedulian atau kebodohan batin kita sendiri. Tanpa disadari maka hal tersebut akan menggeroti batin kita ke alam yang menyedihkan bagaikan karat yang timbul dari besi itu sendiri.

Buddha Gautama bersabda : " Bagaikan karat yang timbul dari besi, bila telah timbul akan menghancurkan besi itu sendiri. Begitu pula perbuatan-perbuatan sendiri yang buruk akan menjerumuskan pelanggarnya ke alam yang menyedihkan." (Dhammapada, 240).

Kebodohan batin merupakan suatu kondisi ketidak-mampuan untuk melihat inti kebenaran dari segala sesuatu sebagaimana seharusnya. Terdapat banyak sekali kebenaran di dunia ini yang tidak dipedulikan oleh orang karena keterbatasan pengertian dan pengetahuan yang dimilikinya.

Harta atau Tenggelam
Ada suatu cerita menarik yang dapat menggambarkan situasi ini. Dimana dalam suatu perahu yang sedang akan tenggelam, orang-orang semua berusaha menyelamatkan diri tanpa peduli akan harta bendanya lagi. Namun dalam perahu tersebut terdapat seseorang yang masih sibuk mengikatkan segala harta bendanya ke seluruh badannya tanpa memperdulikan perahu yang akan tenggelam tersebut. Teman-temannya yang sudah sampai ke tepian, berteriak agar dia membuang segala hartanya dan menyelamatkan dirinya. Namun hal itu ditolak mentah-mentah dan dia tetap mementingkan harta emasnya yang berat, sehingga akhirnya menenggelamkan dirinya bersamaan dengan tenggelamnya harta emas yang diikatkan ke seluruh badannya.

Begitulah kita sulit sekali mempercayai sesuatu yang belum terbukti sebagaimana adanya, dan selalu berpegang teguh akan keyakinan sendiri tanpa peduli terhadap sekeliling kita. Ilmu fisika membuktikan, bahwa terdapat suara yang tidak dapat didengar dan gelombang cahaya yang tidak dapat dilihat. Orang mungkin tidak sadar adanya gelombang radio atau sinar ultra violet, kalau tidak ada alat khusus yang ditemukan untuk membolehkan mereka mengobservasi hal tersebut. Sejauh manusia masih tetap dilandasi ketidak-pedulian terhadap segala sesuatu yang menyangkut kehidupan di dunia ini, mereka akan tetap menderita yang disebabkan oleh kesalah-pengertian dan pikiran ilusi (maya) mereka.

Apabila manusia telah mengolah pikiran mereka dan memperoleh kebijaksanaan dari belajar, pemikiran yang benar dan meditasi yang benar, maka mereka akan melihat Kebenaran sebagai suatu Kebenaran. Mereka akan melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Mereka akan mengerti penderitaan dan ketidak-kekalan dalam kehidupan ini, hukum Sebab Akibat dan Empat Kebenaran Mulia. Dengan mengalahkan nafsu keinginan rendah dan kebodohan batin serta selalu mengarahkan batin ke Kebebasan Sejati, mereka akan memperoleh kebahagiaan dan Pencerahan seperti yang dilakukan oleh Sang Buddha sekitar 2500 tahun yang lalu.

Buddha Gautama bersabda : " Mereka yang senantiasa sadar, tekun melatih diri siang dan malam, selalu mengarahkan batin ke nibbana, maka semua kekotoran batin dalam dirinya akan musnah." (Dhammapada , 226)

Buddha Gautama mengajarkan, " Semua perbuatan tidaklah kekal." . Karma buruk juga tidak kekal dan tidak memiliki sifat diri yang mendasar. Jika kita berhenti menciptakan karma buruk dan terus menerus melakukan karma baik, suatu hari kita akan bebas dari penderitaan dan mencapai kebahagian. Sebagaimana suatu gelas berisi air garam yang apabila dituangi terus dengan air tawar, maka akan hilanglah rasa asin pada air gelas tersebut.

3. Kebenaran Mulia tentang Pelenyapan Penderitaan
Kesadaran pertapa Gautama akan pelenyapan penderitaan, sehingga memperoleh Pencerahan Sempurna sebagai Buddha pada usia 35 tahun, membuktikan usaha Beliau mencari Kebenaran bisa berhasil. Selama enam tahun, pertapa Gautama mengalami usaha yang sia-sia dalam mencari solusi terhadap masalah penderitaan makhluk hidup. Beliau juga telah mencoba berbagai cara bertapa dari para guru pertapa untuk melenyapkan penderitaan yang ternyata mereka juga belum berhasil. Hingga akhirnya Beliau menemukan solusi masalah kehidupan tersebut dengan caranya sendiri .

Keyakinan terhadap Ajaran Sang Buddha [Sraddha/Saddha]

Setelah menyadari Kebenaran dengan usaha Beliau sendiri, Buddha Gautama menawarkan kepada semua orang yang siap untuk mendengarkan.

Kura-kura dan Ikan
Ada suatu cerita kuno mengenai kura-kura dan ikan. Kura-kura dapat tinggal di darat dan juga di laut, sedangkan ikan hanya tinggal di laut. Pada suatu hari, ketika kura-kura kembali dari perjalanannya di darat, dia menceritakan kepada ikan tentang pengalamannya. Dia menjelaskan, bahwa segala makhluk hidup berjalan dan tidak ada yang berenang. Ikan tersebut menolak untuk percaya bahwa ada jalan yang kering di daratan, karena ikan tidak pernah mengalami hal tersebut.

Sama seperti manusia yang belum mengalami pelenyapan penderitaan, tetapi bukan berarti bahwa tidaklah mungkin untuk melenyapkan penderitaan. Seorang pasien haruslah mempunyai kepercayaan terhadap dokter yang berpengalaman, kalau tidak dia tidak akan menebus obatnya di apotik, sebagaimana resep yang diberikan oleh dokter tersebut, sehingga sakitnya tidak bisa disembuhkan. Demikian juga kita harus mempercayai ajaran Buddha Gautama yang telah memperlihatkan jalan untuk melenyapkan penderitaan.

Pelenyapan Penderitaan
Pelenyapan penderitaan merupakan tujuan utama Ajaran Buddha Gautama. Hal tersebut dapat dialami oleh setiap orang dimanapun mereka berada. Sebagai contoh, apabila keserakahan dan kemarahan muncul di dalam pikiran akan menyebabkan ketidakbahagiaan. Apabila perasaan serakah dan marah tersebut telah lenyap, maka pikiran akan bahagia dan damai. Untuk melenyapkan penderitaan secara tuntas, seseorang harus menghilangkan nafsu keinginan rendah, kebencian dan kebodohan batin. Inilah yang disebut Kebenaran Mulia Ketiga, yaitu Pelenyapan Penderitaan.

Mungkin Anda akan merasa bergidik, apabila mendengar kata `pelenyapan' dimana seolah-olah Ajaran Buddha Gautama menganjurkan agar semua hal-hal duniawi harus lenyap dari diri Anda, sehingga Anda tidak bebas untuk berkeluarga, mencari uang, memiliki kedudukan yang tinggi dan menikmati kesenangan hidup duniawi. Semua kekhawatiran tersebut tidaklah benar adanya. Ajaran Buddha Gautama adalah suatu ajaran yang bertujuan untuk mencari Kebahagiaan. Ajaran Buddha Gautama tidak menolak kehidupan normal, tetapi hanya menolak kehidupan yang berlebihan akan kemelekatan terhadap kenikmatan materi duniawi yang rendah saja. Sehingga apabila Anda mempercayai Ajaran Buddha Gautama, masih dapat berkeluarga, bekerja untuk mencari nafkah, dan hidup sebagaimana kehidupan normal. Dalam salah satu Sutra diuraikan, bahwa terdapat seorang umat awam yang bernama Vimalakirti yang sudah menikah dan sangat kaya. Akan tetapi dia tidak menjadi budak nafsu keinginan materi. Di dalam Sutra, ia digambarkan, " Meskipun menjalankan kehidupan berumah tangga, dia tidak memiliki keterikatan pada tiga jenis alam; meskipun menikah, dia selalu melatih kehidupan suci"

Kebahagiaan
Buddha Gautama mengajarkan, bahwa pelenyapan penderitaan merupakan kebahagiaan sempurna. Setiap langkah yang menuju kepada pelenyapan penderitaan selalu disertai dengan peningkatan kebahagiaan. Mereka yang mengikuti Ajaran Buddha Gautama akan hidup bahagia tanpa keserakahan di antara mereka yang masih dikuasai oleh nafsu keserakahan. Mereka akan merasakan hidup bahagia tanpa kebencian di antara mereka yang masih diperbudak oleh kebencian. Makin banyak keserakahan yang dapat dijauhkan, makin besarlah kebahagiaan yang akan diperoleh. Apabila kita telah dapat menghilangkan keseluruhan sifat serakah dan kebencian , maka akan diperoleh kebahagiaan sempurna sebagaimana yang dialami oleh Buddha Gautama.
Buddha Gautama bersabda : " Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa membenci di antara orang-orang yang membenci; di antara orang-orang yang membenci kita hidup tanpa membenci. Sungguh bahagia, jika kita hidup tanpa keserakahan di antara orang-orang yang serakah; di antara orang-orang yang serakah kita hidup tanpa keserakahan." (Dhammapada, 197, 199)

Pencerahan
Dengan menempatkan ajaran Buddha Gautama dalam kehidupan sehari-hari, maka akan diperoleh juga Pencerahan Sempurna. Pencerahan merupakan suatu hal yang tidak dapat dikuantifikasikan, dimana kebijaksanaan dan kasih sayang adalah yang paling utama. Dengan kebijaksanaan dan kasih sayang, Beliau mampu menolong seluruh makhluk mengatasi penderitaan.

Bagaimanakah keadaan seseorang yang telah memperolah Pencerahan ? Bagi mata orang biasa, manusia yang telah mencapai Pencerahan tampak sangat aneh. Dalam catatan Buddhisme Zen [Ch'an] , para Mahabhikshu Zen yang telah mencapai Pencerahan memiliki cara-cara yang berbeda untuk mengekspresikannya. Beberapa di antaranya tertawa terbahak-bahak, atau berdiam diri tanpa mengeluarkan sepatah katapun, hingga ada yang memukul guru mereka, di mana guru mereka dapat menyetujui tindakan tersebut. Jenis kelakuan seperti ini benar-benar tidak dapat diterima oleh orang biasa. Akan tetapi, bagi manusia yang telah memperoleh Pencerahan, ekspresi seperti ini adalah Zen [Ch'an].

Pada saat kita menyadari Kebenaran Sejati, maka pada saat itulah kita telah memperoleh Pencerahan. Sering terdapat orang yang berusaha mencari kebahagian dari hal-hal diluar dirinya, padahal Pencerahan itu sendiri ada dalam diri masing-masing. Bentuk luar hanyalah merupakan penampakan maya yang menghalangi pandangan sejati kita.

Meniru Sang Guru
Ada suatu cerita dimana terdapat seorang bhikshu muda yang berguru kepada seorang Mahabhikshu Zen yang terkenal telah memperoleh Pencerahan, sehingga dinamakan Yang Tercerahkan. Namun sesudah mengikuti sekian tahun segala tingkah laku gurunya tersebut, mulai dari bangun siang, makan berisik, jalan seenaknya, sampai hal-hal lainnya termasuk cara berteriak dan bicara, tetap saja bhikshu muda ini merasa belum mencapai pencerahan. Akhirnya timbul keraguan dalam dirinya bahwa kemungkinan besar gurunya ini belum mencapai pencerahan sebagaimana julukan yang diberikan kepadanya.

Pagi-pagi berikutnya, si bhikshu muda menemui gurunya dan telah memutuskan untuk pergi dengan berkata, "Guru, saya telah mengikuti guru sekian lama dan telah meniru segala perbuatan guru seperti bangun siang, makan berisik, jalan dan teriak seenaknya sampai kadang-kadang tiga hari tidak mandi juga sebagaimana kebiasan guru, namun saya tetap merasakan belum memperoleh pencerahan. Dan saya sendiri ragu kalau guru telah mencapai pencerahan. Untuk itu saya memutuskan meninggalkan guru!"

Mendengar itu sang Mahabhikshu ketawa, "Ha....ha....ha...., muridku yang malang. Siapa suruh engkau mencari pencerahan di luar dari dirimu sendiri. Masih untung saya tidak bertingkah laku seperti seorang suci yang telah mencapai pencerahan, karena kemungkinan Anda akan nantinya membenci semua orang suci yang engkau temui." Begitulah akhirnya bhikshu muda itupun menyadari akan suatu Kebenaran Sejati dan langsung tercerahkan, kemudian dia membatalkan keputusan untuk meninggalkan gurunya.

Kebenaran Nirvana
Pelenyapan penderitaan telah diuraikan sebagai kebahagiaan sempurna dan Pencerahan. Bagaimanapun, kondisi ini tidaklah seluruhnya mencerminkan kesunyataan dari pelenyapan penderitaan atau Nirvana. Nirvana tidak dapat begitu saja diuraikan dengan kata-kata. Usaha untuk menguraikan Nirvana hanyalah seperti mengatakan durian itu enak dan tidak seperti ketimun atau kentang. Seseorang haruslah memakan durian untuk mengetahui rasanya. Demikian juga kebenaran Nirvana haruslah dialami sendiri. Kebenaran Nirvana bukanlah dihasilkan [uppadetabba] tetapi haruslah dicapai sendiri [pattabba]. Proses pencapaian Nirvana tersebut dapat diperoleh dalam kehidupan kali ini juga, sehingga kita janganlah karena berpedoman adanya konsep tumimbal-lahir lalu menunda pencapaian Nirvana tersebut pada kelahiran yang akan datang.

Apabila setiap orang memiliki keyakinan akan Ajaran Sang Buddha dan mengamalkannya, maka mereka akan memperoleh kebahagiaan yang damai dan mengalami Pencerahan. Disebutkan dalam sutra, " Jika seseorang ingin mengetahui tentang keadaan pikiran Buddha, dia harus mengembangkan pikirannya seperti ruang kosong."

Cendekiawan Meminum Teh
Pada jaman dulu di Tiongkok terdapat seorang cendekiawan yang sangat menguasai segala filsafat kehidupan serta memiliki kedudukan yang tinggi di pemerintahan. Tetapi karena adanya suatu kesalahan dalam keputusannya yang disebabkan oleh sifat kesombongannya, maka raja mengutuskannya untuk bertemu dengan seorang Mahabhikshu Zen.
Setelah bertemu dengan Mahabhikshu tersebut yang duduk tanpa memperdulikannya, demikian juga cendekiawan tersebut yang karena kesombongannya tidak mau memberikan hormat kepada Mahabhikshu tersebut. Maka mereka berdua saling duduk tanpa terucap sepatah katapun, malah saling membuang muka persis seperti orang pacaran yang baru bertengkar hebat.

Setelah sekian lama, Mahabhikshu mulai menuangkan teh ke cawan cendekiawan tersebut. Teh terus dituangkan sampai seluruh cawan itu telah penuh dan air teh meluber keluar. Melihat ini cendekiawan tersebut berteriak, "Kenapa Anda masih menuangkan teh ini terus padahal telah penuh?" Sang Mahabhikshu memberikan suatu jawaban yang ringkas, "Sama seperti pikiran Anda yang telah penuh, sangatlah sulit untuk dapat diisi lagi!" Cendekiawan yang memang pintar ini langsung mengerti dan bersujud memanggil guru kepada Mahabhikshu tersebut.

4. Kebenaran Mulia tentang Jalan Menuju Pelenyapan Penderitaan
Kebenaran Mulia keempat ini merupakan suatu jalan yang ditemukan oleh Sang Buddha dalam mengakhiri penderitaan sehingga mencapai Pembebasan yaitu terlepas dari siklus kelahiran dan kematian. Jalan ini merupakan suatu cara yang menghindari penyiksaan diri yang melemahkan kecerdasan dan juga pemuasan nafsu keinginan rendah yang menghambat kemajuan spiritual seseorang.

Jalan Tengah
Pangeran Siddharta mengalami hidup bergelimang dalam kesenangan di kerajaan ayahndaNya. Setelah dia menolak kehidupan duniawi dan hidup sebagai seorang pertapa di hutan, Beliau menjalankan latihan pertapaan menyiksa pikiran dan badan. Hingga akhirnya pada saat sebelum Beliau memperoleh Pencerahan, disadari bahwa cara pertapaan menyiksa diri tersebut adalah sia-sia belaka. Beliau menyadari, bahwa jalan menuju kebahagiaan dan Pencerahan hanyalah dengan menghindari latihan penyiksaan diri tersebut yang kemudian diuraikan sebagai Jalan Tengah.

Tiga bentuk kehidupan yang dialami oleh Sang Buddha tersebut dapat diumpamakan seperti senar pada kecapi. Senar yang terlalu longgar (dapat diumpamakan hidup yang telalu manja) menghasilkan suara kecapi yang sumbang dan lemah. Apabila senar yang terlalu kencang (dapat diumpamakan hidup menyiksa diri) juga akan menghasilkan suara yang terlalu melengking, lagipula senarnya akan cepat putus. Hanyalah senar yang sedang, dimana tidak terlalu longgar dan tidak terlalu kencang (dapat diumpamakan Jalan Tengah) yang akan menghasilkan suara yang indah dan harmonis.

Oleh sebab itu bagi siapapun yang mengikuti Jalan Tengah dengan menghindari jalan pemanjaan diri terhadap nafsu keinginan maupun jalan penyiksaan diri yang berlebihan, dialah yang akan menemukan kebahagiaan, pikiran yang damai dan Pencerahan. Inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia Keempat; yaitu Jalan menuju pelenyapan penderitaan.

Terdapat berbagai Jalan yang diajarkan oleh Sang Buddha dalam menuju pelenyapan penderitaan tersebut yang pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari Delapan Ruas Jalan Kemuliaan seperti Empat Kondisi Pikiran Sang Buddha Yang Tidak Terbatas, Empat Prasetya, Tri-Laksana, Lima Sila, Sepuluh Perbuatan Bermanfaat, Tujuh Ciri-ciri Bodhi, Tiga Puluh Tujuh Keadaan Menuju Bodhi atau Kebuddhaan, dan Enam Paramitta.

Sang Buddha Bersabda: " Engkau sendirilah yang harus berusaha, para Tathagata hanya menunjukkan `Jalan'. Mereka yang tekun bersemadi dan memasuki `Jalan' ini akan terbebas dari belenggu Mara." (Dhammapada, 276).

Demikianlah kita harus berusaha untuk mencapai Kebebasan diri kita sendiri tanpa harus tergantung kepada bentuk-bentuk luar. Para Tathagata hanya menunjukkan Jalan dan kitalah yang harus menuju arah yang ditunjuk itu, bukan terpaku pada 'telunjuk' Tathagata. Telunjuk dapat merupakan sarana, namun tidak merupakan pemujaan. Sang Buddha mengatakan bahwa Dharma yang sesungguhnya tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, dan hanya sesama Yang Tercerahkan yang dapat mengetahuinya.

Kitab Panduan
Pada suatu masa kehidupan dahulu terdapat seorang guru yang kemana-mana selalu memberitakan kebenaran hidup. Semua hal yang telah diberitakan diminta untuk dicatat oleh murid-muridnya. Sehingga kemana-mana kitab kebenaran yang telah dicatat ini selalu menjadi bahan rujukan dalam melakukan segala perbuatan.

Sampai suatu saat, guru dan rombongan muridnya berjalan melintasi jembatan yang di bawahnya melintas arus sungai yang deras. Karena tidak hati-hati, guru tersebut terpeleset dan jatuh ke bawah. Guru tersebut berteriak dengan nyaring meminta pertolongan muridnya, beberapa murid yunior berusaha turun untuk menolong gurunya, namun terdapat beberapa murid senior yang ingat akan wejangan gurunya agar segala perbuatan haruslah merujuk kepada `kitab suci kebenaran' yang telah tercatat, sehingga seorang murid senior sambil membolak-balik `kitab suci' tersebut berteriak kepada gurunya yang sudah hampir tenggelam terbawa arus sungai, "Guru...guru.....sabar.., harap jangan tenggelam dulu, biar saya mencarikan bab pertolongan terhadap guru yang sedang tenggelam di sungai yang deras!"

Sumber : http://www.nshi.org/Buddhisme/IndonesiaBuddhisme/Empat-Kebenaran-Mulia.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar