Namo Buddhaya, Selamat Datang di Pelita Kehidupan ....Semoga Semua Mahluk Berbahagia....

Senin, 23 Mei 2011

Manfaat Membaca Paritta


Paritta dalam bahasa Pali atau Pirit dalam bahasa Indo sinhala, secara literal berarti “penuh perlindungan”. Buddha dalam berbagai kesempatan dengan bahasa pali yang suci merangkai paritta atau pirit, pastilah terdapat salah pengertian yang menyamakan paritta sebagai tuah yang misterius atau mantra, tetapi sebenarnya terdapat penganjuran asli yang etis dan mengandung nilai filosopis dari ajaran buddha, yang berkaitan dengan aspek-aspek Dhamma. Paritta yang dibacakan oleh Sangha atau umat, secara individu atau bersama-sama, untuk memperoleh berkat dari tiratana bagi diri mereka sendiri maupun bagi orang lain, baik disaat kesusahan maupun kesejahteraan.

Secara paritta dilantunkan untuk mengusir penjahat, menjauhkan penderitaan, ketidakberuntungan, ketakutan, kekhawatiran, penyakit, gangguan mental, untuk kesejahteraan, kesehatan, kekayaan, kesuksesan, umur panjang, kebahagiaan fisik dan mental, dan keyakinan (saddha).pemusatan pikiran (sati), itikad baik, kedamaian pikiran, keseimbangan pikiran, penerangan mental, kelembutan, adaptasi, pembenaran cara berpikir dan berkat yang lain, sebagai suatu kedisiplinan bhikkhu membaca paritta dipagi hari dan malam hari disuatu vihara. Jika ada yang sakit dan dalam upacara secara umum mereka diundang untuk membacakan paritta secara individu maupun berkelompok. Karena keinginan yang baik dan hidup selibat makan paritta yang dilantunkan oleh sangha sangatlah berpengaruh. Dalam penjabaran paritta, karaniya metta sutta adalah yang paling berpengaruh dan paling kuat. Menurut kronologisnya, ketika ada seorang bhikkhu yang meditasi dihutan namun diganggu oleh makluk yang kasat mata yang menghuni pohon-pohon, lalu buddha memberikan sutta ini kepada bhikkhu tersebut serta dinasehati untuk memancarkan cinta kasihnya kepada seluruh makluk hidup tanpa pengecualian. Setelah para bhikkhu melaksanakannya, tidak berapa lama kemudian, mereka berhasil melakksanakan meditasi dengan baik. Mengacu pada kekuatan metta, makluk yang tak terlihat mata telah terbukti tidak menyakiti mereka. Metta atau kasih sayng memiliki kekuatan magnetis yang tidak terbatas jaraknyadan tidak memiliki hambatan. Jarak bukanlah penghalang untuk melaksanakan metta. Dengan kekuatan metta dari buddha, pangeran Rahula yang saat itu baru berumur 7 tahun ketika melihat buddha untuk pertama kalinya dengan seketika berujar: “O’ pertapa bayanganmu menyenangkan bagiku”. Rajamalla, yang tidak berkeyakinan terlalu besar pada buddha, menjadi tertarik dengan kehadiranNya, dengan kekuatan Metta yang dimilikiNya. Gajah Nalagiri yang berlari menuju pada buddha untuk menyerangnya, ditaklukan oleh buddha sendiri dengan kekuatan Metta yang dimilikinya, juga Angulimala yang menakutkan kemudian menjadi Arahat. Dengan hati penuh welas asih buddha menaklukkannya ketika angulimala ingin membunuh ibunya sendiri. Suatau hari boddhisatta harus melalui hutan menemunya, memberikan segenggam pasir dan benag, membacakan paritta dan memberikan kepadanya untuk melindunginya dari semua bahaya, semua roh jahat mengikutinya tapi tidak menyakitinya. Boddhisatta pergi ketempat beristirahat dan menaburi sekeliling dengan benang paritta. Bagi roh jahat, benang itu terlihat seperti lingkaran api dan boddhisatta selamat dari bahaya.

Ratana Sutta (berkah Mustika) adalah paritta yang diberikan oleh buddha untuk perlindungan dari pengaruh buruk roh jahat dan untuk mencegah penyakit dan ketidak beruntungan. Pada setiap akhir bait dalam paritta muncul pernyataan kebenaran berikut: Etena saccena suvatthi hoti sabbada (dg kekuatan kebenaran ini semoga hadir kedamaian bersama kami). Paritta angulimala adalah contoh dari pernyataan kebenaran yang bertuah. Y.M Angulimala yang bertanggung jawab atas banyak pembunuhan sebelum ia bertobat dan menjadi seorang bhikkhu saat sedang berkeliling, melihat seorang ibu yang mengalami kesulitan dalam melahirkan. Tergerak oleh rasa kasih sayang, melaporkan hal ini kepada Buddha, yang melaporkan Angulimala Paritta sebagai berikut: “semenjak kelahiranku sebagai ariya, aku tidak pernah dengan sengaja menghancurkan kehidupan makluk hidup. Dengan kekuatan kebenaran ini semoga engkau menjadi selamat dan anakmu juga”. Dengan paritta itu dia menemui ibu yang menderita dan duduk dibalik kain pembatas, lalu membacakan paritta itu. Dengan segera ia melahirkan dengan mudah. Pengaruh dari paritta ini masih ada hingga sekarang. Biasanya dinegara-negara buddhis khususnya sri-lanka, paritta ini dibacakan oleh sangha untuk ibu yang sedang hamil.

Bahkan bayi yang posisinya sungsang dalam rahim/kandungan, kadangkala membenarkan posisinya berkat kekuatan paritta ini. Sebuah pikiran yang tak terlihat dapat menyelamatkan atau menghancurkan dunia. “apa yang dapat dibuat oleh pikiran, pikiran dapat pula tidak menjadikan”.

MANFAAT PARITTA
Paritta memiliki arti perlindungan. Semuanya digunakan untuk menjelaskan sutta-sutta (khotbah-khotbah) tertentu yang dijelaskan oleh Buddha Gautama. Sutta-sutta ini ada sebagaian yang memang dianggap mampu memberikan perlindungan dari pengaruh-pengaruh yang membahayakan. Namun, semuanya sesungguhnya kembali kepada seberapa besar kekuatan keyakinan (saddha) yang kita miliki ketika sedang membaca paritta tersebut. Menjadi seorang umat buddha memang tidak ada keharusan untuk dapat membaca paritta dengan baik., benar, serta hafal diluar kepala, tetapi tidak berarti pula pembacaan paritta tidak ada manfaatnya dan hanya sekedar pelaksanaan ritual saja. Adapun manfaat pembacaan paritta antara lain:
1.Kita membaca dan mengucapkan sesuatu yang baik, dengan demikian kita telah melakukan kamma baik setidaknya melalui pikiran dan ucapan (untuk itu penting bagi seseorang afa membaca dan memahami makna paritta dari terjemahannya).
2.Membaca paritta berarti kita berupaya untuk memahami apa yang sebelumnya kurang kita pahami.
3.Membaca paritta berarti mengulang khotbah-khotbah Buddha Gautama (walaupun tidak semua paritta berasal dari khotbah Buddha), dengan demikian kita telah melestarikan kelangsungan ajaran Buddha.

Tetapi menurut Milinda Panha, ada tiga alasan dimana paritta tidak bekerja:
1.Halangan karena kamma masa lalu.
2.Halangan karena kekotoran batin masa kini, dan
3.Halangan karena kurangnya keyakinan.

Paritta yang merupakan perlindungan bagi semua makluk akan kehilangan kekuatannya karena cacat mereka sendiri.

Kesimpulan

Paritta merupakan syair suci yang telah dibabarkan oleh buddha dan para siswanya, dan merupakan syair perlindungan bagi mereka yang ada keyakinan disaat membaca dan memahaminya. Dengan demikian, bahwa dengan membaca paritta bisa menciptakan suatu kondisi yang damai didalam si pembaca.




Sumber : http://khmand.wordpress.com/2009/11/30/kegunaan-paritta

Minggu, 13 Maret 2011

Jalan Mulia Berunsur Delapan


Sang Buddha bersabda : " Di antara semua jalan, maka ` Delapan Ruas Jalan Kemuliaan ' adalah yang terbaik. Di antara semua kesunyataan, maka ` Empat Kesunyataan Mulia ' adalah yang terbaik. Di antara semua keadaan, maka keadaan tanpa nafsu adalah yang terbaik; dan di antara semua makhluk hidup, maka orang yang `melihat' adalah yang terbaik." (Dhammapada, 273).

Seperti seorang dokter yang berpengalaman, Sang Buddha mengenali dulu penyakit penderitaan tersebut. Beliau kemudian mengidentifikasikan penyebabnya dan menentukan penyembuhannya. Untuk kemudian guna kepentingan umat manusia, Beliau meracik penemuannya tersebut dalam suatu rumusan yang sistimatis, dimana dapat dengan mudah diikuti oleh umat manusia guna melenyapkan penderitaan . Rumusan tersebut mencakup pengobatan fisik dan mental, dimana salah satunya disebut Delapan Ruas Jalan Kemuliaan.

Delapan Ruas Jalan Kemuliaan yang ditemukan oleh Sang Buddha adalah salah satu jalan untuk melenyapkan penderitaan dan menuju Nirvana. Jalan ini menghindari penyiksaan diri yang berlebihan yang mana dapat melemahkan intelektual seseorang dan pemanjaan diri berlebihan yang dapat menghambat kemajuan spiritual seseorang. Delapan Ruas Jalan Kemuliaan tersebut terdiri dari Pandangan Benar, Pikiran Benar, Perkataan Benar, Perbuatan Benar, Mata Pencaharian Benar, Usaha Benar, Kesadaran Benar dan Konsentrasi Benar.

1. Pandangan Benar
Pandangan Benar merupakan pengetahuan mengenai Empat Kebenaran Mulia. Dengan kata lain berusaha memahami diri sendiri sebagaimana adanya. Kata kunci dalam paham Buddhisme adalah Pandangan Benar. Ajaran Sang Buddha pada umumnya adalah berdasarkan pengetahuan dan bukan berdasarkan suatu kepercayaan yang tidak beralasan.

Pandangan Benar sangat penting dan merupakan hal utama yang harus kita pelajari terlebih dahulu, sebelum mempelajari lebih lanjut Ajaran Sang Buddha. Seperti proses tahapan dalam sekolah, maka Pandangan Benar dapat disebut kelas SD, kemudian berlanjut kepada Hukum Sebab Akibat yang dapat disebut SLTP, lalu pengertian Sunyata (Kekosongan) yang dapat digolongkan tahap lanjutan atas atau SLTA, kemudian baru pengembangan Prajna (Kebijaksanaan) yang dapat dikategorikan sebagai sarjana lengkap.

Terdapat tiga Pandangan Utama yang harus diperhatikan agar kita selalu berada dalam jalur Pandangan Benar, yaitu :

Pandangan benar terhadap karma dimana semua makhluk adalah pemilik karmanya sendiri, lahir dari karmanya sendiri, dan ahli waris karmanya sendiri.

Pandangan benar terhadap sepuluh persoalan, yaitu :
Kebajikan tinggi dalam berdana
Kebajikan dalam pemberian yang banyak
Kebajikan dalam pemberian yang sedikit
Akibat dari perbuatan yang buruk dan baik
Kebajikan perbuatan terhadap ibu
Kebajikan perbuatan terhadap ayah
Adanya makhluk yang lahir secara spontan
Adanya dunia ini
Adanya dunia dan alam kehidupan yang lain
Adanya makhluk hidup yang melakukan latihan yang benar dan memiliki pencapaian yang benar yang dengan usahanya sendiri dalam berbagai kehidupan dan kemudian mengajarkan Kebenaran kepada makhluk lainnya.

Pandangan benar terhadap Empat Kebenaran Mulia.
Pandangan benar dalam kenyataan kehidupan modern saat ini juga mencakup mengenai berbagai pengetahuan yang semestinya kita sadari, sehingga dapat membuka wawasan kita terhadap berbagai hal yang terjadi di sekeliling kita.

Katak Dalam Sumur
Ada seekor katak yang seumur hidup tinggal di suatu sumur. Katak tersebut sangat menyenangi kehidupannya di lingkungan sumur tersebut. Kalau siang hari yang panas dia berendam di kedalaman sumur, dan di malam hari dia loncat ke luar sumur, bermain di sekeliling pinggiran sumur. Sampai suatu hari datanglah seekor kura-kura dari lautan. Katak tersebut dengan bangganya menceritakan bagaimana senangnya dia menjalani kehidupannya di dalam sumur, dan menawarkan kura-kura tersebut untuk tinggal di dalamnya.

Kura-kura yang melihat kecilnya sumur tersebut tentu saja menolak, dan mengatakan bahwa dia senang tinggal di luar sumur, karena dapat menyelami berbagai lautan dengan berbagai corak kehidupannya. Sang kura-kura menceritakan berbagai hal-hal menarik di luar sumur yang belum pernah dialami oleh sang katak. Namun semua cerita kura-kura tersebut dianggap sebagai dongeng yang tidak masuk akal saja. Sehingga sang katak tidak peduli akan kehidupan di luar sumur, dan tetap memilih tinggal di sumur kecil kebanggaannya.

Demikian juga sering terjadi dalam kehidupan ini yang tanpa disadari telah menarik garis-garis pemisah yang menciptakan kotak yang menutup diri kita sendiri. Memang kehidupan sang katak akan menyenangkan buat katak itu sendiri, tetapi dengan menceritakan kebahagiaan hidup di sumur kepada seekor kura-kura yang biasa hidup di lautan luas, akanlah tidak ada artinya. Demikian juga sebaliknya bagi seekor kura-kura yang menikmati kebahagian hidup di laut, menceritakan kehidupan tersebut kepada seekor katak di sumur juga sia-sia adanya. Kita sering terkotak oleh pengetahuan terbatas yang kita yakini. Buddhadharma tidaklah terbatas, sebagaimana dicontohkan oleh Sang Buddha dengan segenggam daun ditanganNya dibandingkan dengan daun-daun yang ada di seluruh hutan. Bagaimana dapat melampaui pengetahuan yang tertulis, itulah yang penting untuk kita raih dalam kehidupan kali ini. Tentunya dengan suatu Pandangan Benar, maka segala pengetahuan akan dapat kita alami juga pada akhirnya.

2. Pikiran Benar
Pikiran Benar dapat dibagi atas tiga ruas pengertian, yaitu :
- Pikiran yang tanpa keserakahan [lobha], kebencian [dosa] dan kebodohan batin [moha]
- Pikiran yang berisi cinta kasih [metta]
- Pikiran yang berisi kasih sayang [karuna]

Keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin adalah halangan utama atau tiga racun dunia bagi kita dalam menuju Pencerahan. Kita harus senantiasa berusaha untuk memelihara pikiran benar, agar bisa mengatasi tiga racun dunia tersebut, sehingga memasuki Jalan KeBuddhaan.

Pikiran merupakan hal yang sangat mempengaruhi dalam usaha kita memperoleh Pencerahan. Pikiran yang tidak dapat diatasi akan merupakan halangan sehingga dapat menimbulkan sifat kebencian kepada orang lain tanpa ada dasar sama sekali.

Mahabhikshu Menggendong Wanita Cantik
Dalam perjalanan menuju kembali ke vihara, seorang Mahabhikshu Zen bersama muridnya seorang bhikshu muda tiba di tepian sungai yang deras. Pada saat itu seorang wanita muda cantik dengan pakaian jaman dulu (panjang sampai ke tumit) berdiri kebingungan di tepian sungai. Melihat Mahabhikshu dan bhikshu muda yang bermaksud menyeberang tersebut, maka wanita muda ini meminta tolong untuk diseberangkan. Dengan spontan Mahabhikshu menawarkan kesediaannya untuk membantu, dan secara sigap mengendong wanita muda tersebut ke seberang. Bhikshu muda yang ikut menyeberang hanya bisa terpelongo menyaksikan pemandangan tersebut yang menurut pikiran dia sangatlah tidak pantas dilakukan oleh gurunya.

Namun sebagai seorang murid yang setia, maka bhikshu muda ini mengurungkan niatnya untuk menegur gurunya. Setelah tiga malam tidak bisa tidur karena selalu memikirkan tingkah laku gurunya tersebut, dimana sampai timbul kebencian yang sangat besar terhadap gurunya. Maka akhirnya bhikshu muda ini memutuskan untuk bertanya kepada gurunya, dimana apabila tidak diperoleh jawaban yang memuaskan maka dia akan berhenti menjadi muridnya.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali dengan mata yang masih kuyuh, bhikshu muda tersebut menemui gurunya yang sedang duduk minum teh. Mahabhikshu agak kaget juga melihat kemunculan muridnya yang tidak biasanya tersebut. Sesampainya bhikshu muda ini, langsung dia menanyakan, "Guru, ini ada pikiran yang menganggu saya dan sampai saat ini masih belum dapat saya peroleh jawabannya. Untuk itu harap guru mau memberikan penjelasan. Kenapa guru tiga hari yang lalu menggendong wanita muda cantik menyeberang sungai tanpa merasa risih, padahal itukan tidak sopan sama sekali?"

Mahabhikshu tersebut sempat bingung dan tidak mengerti apa yang dimaksud karena kejadian tersebut sudah tidak diingatnya lagi. Setelah dijelaskan lebih detail, dan sesudah Mahabhikshu mengerti duduk persoalannya, maka diapun tertawa sambil berkata, "Ha...ha...ha..., muridku yang malang, guru hanyalah mengendongnya untuk membantu dia menyeberangi sungai yang deras tersebut , tetapi Anda sungguh malang sekali, malah mengendongnya dari tiga hari yang lalu sampai sekarang!"

3. Perkataan Benar
Perkataan Benar berarti tidak dibenarkan untuk mengatakan sesuatu yang tidak benar, memfitnah, mencaci-maki, mengucapkan kata-kata kasar dan kotor. Pepatah umum mengatakan, bahwa " Kuman memasuki tubuh kita melalui mulut; bencana muncul melalui mulut juga."

Pemuda Yang Kehilangan Domba
Yongmae, seorang pemuda yang menggembala domba. Pemuda ini memang terkenal iseng dan suka membuat onar dengan menceritakan hal-hal yang adakalanya tidak masuk di akal sama sekali. Pada hari pertama menggembala domba, terbetik dalam pikirannya untuk membuat onar penduduk kampungnya, maka menjelang tengah hari dengan tergopoh-gopoh dia berlari turun gunung memasuki kampungnya dengan berseru, "Tolong....tolong......., ada gerombolan serigala yang memangsa domba-dombaku." Mendengar teriakan yang histeris tersebut, maka cukup banyak penduduk yang keluar dengan membawa berbagai perkakas dan berlari ke gunung bermaksud membantu Yongmae mengusir gerombolan serigala tersebut. Sesampainya di gunung, terlihat domba-domba dengan tenang masih merumput, dan menyaksikan ekspresi tersebut, Yongmae melepaskan ketawanya dengan berguling-guling di rumput saking senangnya berhasil membohongi hampir seluruh penduduk kampungnya.

Beberapa minggu kemudian, Yongmae mengulangi kembali aksinya yang dimana juga berhasil mengelabui penduduk kampungnya. Sampai suatu hari pada saat sedang menggembala, terlihatlah dengan mata kepala dia sendiri, serombongan serigala rakus muncul dari semak-semak. Dengan pucat pasi, Yongmae berlari seperti dikejar setan ke kampungnya. Sampai suaranya habis berteriak untuk meminta bantuan, tetapi penduduk kampung yang merasa sudah kapok diberlakukan oleh Yongme, tidak mempercayainya dan hanya menebis dengan mengatakan, "Yongmae...Yongmae ...mau aksi apalagi sih..., kami tak mungkin dapat Anda kelabui tiga kali. Sudah sana kembali." Akhirnya Yongmae sambil menangis kembali ke gerombolan dombanya dan menemukan hampir sebagian besar domba gembalaanya telah menjadi santapan gerombolan serigala kelaparan tersebut.

4. Perbuatan Benar
Perbuatan Benar adalah tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berjinah, dan tidak bermabuk-mabukan. Disamping tindakan pasif untuk menjauhi perbuatan jahat, kita juga seharusnya secara aktif melakukan perbuatan baik. Dengan melakukan perbuatan baik akan mengembangkan karakter seseorang, yaitu pengendalian diri dan kesadaran akan hak orang lain.

Perbuatan menghargai makhluk hidup sekecil apapun akan menghasilkan buah karma yang baik, bukan karena kebaikan makhluk itu untuk membalas kita, tetapi karena kebaikan hati nurani kita sendiri yang sanggup menimbulkan kasih yang setulusnya.

Murid Yang Menolong Semut
Guru Hui-gan yang memiliki waskita mata surgawi [divyacakshu/dibbacakkhu] merasa sedih sekali pada suatu hari karena mengetahui bahwa muridnya, Li-chang yang baru berusia 19 tahun harus meninggal satu bulan lagi karena karma buruk masa lalu yang dibuatnya. Beliau tidak menceritakan hasil penglihatannya tersebut agar tidak membuat Li-chang bersedih, melainkan menasehatkan muridnya untuk pulang ke rumah orangtuanya, berkumpul selama 40 hari dengan alasan sudah lama sekali tidak menjenguk orangtuanya. Dengan demikian diharapkan, Li-chang dapat menghabiskan hari-hari terakhirnya bersama orangtuanya.

Li-chang mematuhi dan melakukan perjalanan menembus hutan yang memakan waktu cukup lama juga. Di tengah perjalanan, Li-chang menemukan satu koloni (berjumlah jutaan) semut terperangkap dalam genangan air dan berada di tengah-tengah batu yang dikelilingi oleh air banjir. Li-chang dengan sigap dan spontan mencari dahan kayu yang banyak dan dibuatkan sebagai jembatan, sehingga seluruh semut berikut telur-telur semut yang belum menetas dapat diseberangkan ke tempat yang kering oleh para semut pekerja. Sesudahnya, dia melanjutkan perjalanan lagi pulang ke rumah orangtuanya.

Setelah melewati masa 40 hari sebagaimana ijin yang diperolehnya dari gurunya, Li-chang kemudian muncul di hadapan gurunya yang terkejut melihat kedatangannya tanpa kekurangan apapun. Guru Hui-gan mencoba melihat kembali dengan mata surgawinya dan mendapatkan bahwa muridnya akan hidup sampai umur 91 tahun. Guru Hui-gan menanyakan apa yang telah dilakukannya selama perjalanan dan juga menjelaskan hasil waskitanya. Li-chang hanya bisa menjawab tidak melakukan apa-apa. Guru Hui-gan mencoba melihat perjalanan muridnya ini, dan kemudian menjadi maklum bahwa muridnya telah menolong jutaan makhluk hidup dengan tulus dan penuh kasih sehingga menggetarkan para Bodhisattva yang diliputi Kasih Sayang , dimana secara tidak langsung telah memperpanjang usianya. Guru Hui-gan berucap terima kasih kepada Bodhisattva.

5. Mata Pencaharian Benar
Mata Pencaharian Benar berkaitan dengan adanya lima jenis perdagangan yang harus dihindarkan [micchavanijja/mithayavanijya] karena dapat merugikan diri sendiri dan orang lain, yaitu:
(1) berdagang senjata yang mematikan [sattha-vanijja/sastra-vanijya]
(2) berdagang makhluk hidup [satta-vanijja/sattva-vanijya]
(3) berdagang daging [mamsa-vanijja/mamsa vanijya]
(4) berdagang minuman memabukkan [majja-vanijja/madya-vanijya]
(5) berdagang racun [visa-vanijja/visa vanijya]

Sering kita membaca di koran mengenai berbagai tindak peperangan yang menyebabkan musnahnya penduduk suatu kota hanya karena penggunaan senjata yang mematikan. Perdagangan makhuk hidup termasuk manusia telah menyebabkan berbagai penderitaan, belum lagi berbagai penyakit yang mudah menyerang hewan peliharaan seperti kasus sapi gila di Eropa, kasus virus burung di Hong Kong, dan kasus flu babi di Malaysia, dimana semuanya itu menimbulkan kerugian yang cukup besar hanya untuk mencegah bertambahnya korban manusia, dengan jalan mematikan secara masal hewan peliharaan tersebut, mulai dari pemberian gas beracun, dipukul, dikubur hidup-hidup, dibakar hidup-hidup dan berbagai pembasmian kejam lainnya. Kasus-kasus tersebut juga menyebabkan banyak pedagang daging terpaksa gulung tikar karena tidak terdapatnya pasokan daging, dan berkurangnya niat pembeli yang takut terjangkit virus hewan peliharaan tersebut.

Berbagai kejahatan sudah sering kita dengar yang ditimbulkan oleh karena seseorang itu sedang mabuk minuman keras ataupun habis menegak pil, ganja, morfin yang membuat kesadaran seseorang itu menjadi rendah seperti binatang. Demikian juga berbagai kasus bunuh diri dengan meminum racun ataupun kasus kematian korban yang diracuni sering juga terpampang dalam berbagai koran harian .

6. Usaha Benar
Usaha Benar adalah suatu usaha yang dilakukan terus menerus untuk membersihkan diri dan mengembangkan kebaikan, dimana terdapat empat ruas, yaitu :
(1) untuk kejahatan yang tidak muncul, biarlah tidak muncul.
(2) untuk kejahatan yang muncul,biarlah lenyap.
(3) untuk kebaikan yang tidak muncul, biarlah muncul.
(4) untuk kebaikan yang muncul, biarlah berlanjut.

Penyesalan sering datang terlambat sesudah kita menyadari perbuatan yang tidak seharusnya kita lakukan. Tidak ada penyesalan yang timbul sebelum perbuatan itu dilakukan. Manusia memang lemah karena tertutup oleh berbagai kebodohan yang tanpa disadarinya akan menyeretnya ke ruang penderitaan yang tidak akan habis disesalinya.

Kasep Penjaga Kereta
Kasep, seorang penjaga rel kereta api sudah lama melakukan tugasnya dan sangat disukai orang karena sikapnya yang ramah dan sopan. Namun ada satu sifat jelek Kasep yang sulit dihilangkannya, yaitu sering meminum arak untuk menghangatkan tubuhnya pada malam yang dingin. Apabila ada orang yang menegurnya, maka dia akan bilang bahwa dia tetap masih sadar dan tidak perlu khawatir.

Pada suatu malam, hujan turun dengan lebatnya, dan kereta api agak terlambat dari jadwalnya. Untuk menghilangkan kekesalannya menunggu, Kasep mulai mengeluarkan botol araknya sampai, tanpa disadarinya, telah hampir dihabiskannya setengah botol minuman arak tersebut. Walaupun telah ditegur oleh Kepala Peron , tapi Kasep tetap meyakinkan bahwa dia masih sadar dan tidak perlu khawatir.

Tiba-tiba muncullah suara kereta api dari dua arah yang berlawanan, rel harus segera diarahkan. Kepala peron dengan panik segera menuju arah belakang untuk menutup palang kendaraan umum agar tidak melewati jalur kereta api, dan meminta Kasep untuk melakukan tugasnya mengarahkan rel yang di depan. Kasep sambil tertawa berkata, "Tenang saja Pak, tidak perlu tergopoh-gopoh." Kepala Peron menegaskan kembali agar segera memperhatikan pekerjaannya, dan akhirnya dengan perlahan Kasep mulai bangkit dan menuju tempatnya bekerja.

Kepala Peron dengan cepat berlari ke arah belakang, sedangkan Kasep masih tenang berjalan dan bermaksud meneguk lagi seteguk arak untuk menghangatkan badannya sambil kemudian mengenakan jas hujannya. Dengan santai dia memegang lampu petromak dan berjalan menyusuri rel kereta, namun baru melangkah tiba-tiba terdengar suara pluit kedatangan kereta api. Kasep mulai tergopoh-gopoh berlari ke depan dengan sekuat tenaga, namun semuanya sudah terlambat. Kedua kereta api tersebut saling menghantam gerbong masing-masing seperti dua naga yang sedang bertarung. Berbagai jeritan dan isakan penumpang terdengar histeris bercampur benturan suara keras yang memekakkan telinga.

Sesudah bencana tersebut berakhir, Kasep tidak berhasil ditemukan. Tetapi pada malam berikutnya, orang-orang melihat Kasep duduk di pinggiran kereta api sambil memegang petromak dalam keadaan tidak sadar, sambil melambaikan petromaknya dan berteriak, "Kenapa tidak saya lakukan,.....kenapa tidak saya lakukan, ......kenapa..................."

7. Kesadaran Benar
Kesadaran Benar adalah suatu kesadaran yang ditujukan kepada diri kita sendiri dengan menyadarinya sebagai suatu proses kehidupan yang selalu tidak kekal adanya, dimana terdapat empat dasar kesadaran pokok, yaitu :
(1) tubuh kita kotor dan tidak murni
(2) seluruh perasaan akan selalu mengakibatkan penderitaan
(3) pikiran itu tidak kekal
(4) segala sesuatu bergantung pada yang lain dan tidak memiliki suatu inti yang kekal

Adakalanya kita berpikir bahwa tubuh kita ini sehat, kita bebas berbuat apa saja dan tidak tergantung satu sama lain. Tetapi di lain waktu pada saat tubuh kita sakit, kita akan mencela tubuh ini yang tidak berguna dimana harus tergantung orang lain. Kita sering tidak sadar dan menyalahkan sekeliling kita yang tidak benar, jarang seseorang itu mau bercermin diri melihat kesalahan dan kelemahan sendiri.

Tas Berisi Kotoran
Dalam suatu persamuan yang diketuai oleh seorang Mahabhikshu, tibalah sesi untuk menyampaikan segala permasalahan yang dihadapi oleh para bhikshu. Seorang bhikshu muda yang bernama Dasa, terkenal sering pindah-pindah vihara karena berbagai alasan, dan kali inipun dia sudah siap dengan permasalahannya untuk menyampaikan kepada Mahabhikshu tersebut, bahwa dia bermaksud pindah ke vihara lain dengan berbagai alasan yang telah dipersiapkannya.

Mahabhikshu tersebut mengetahui muridnya ini, maka permintaan tersebut dikabulkan saja. Begitu bhikshu Dasa mempersiapkan diri dan mengambil tasnya siap untuk memohon ijin berangkat, maka tiba-tiba Mahabhikshu berseru, "Bhikshu Dasa selalu membawa tas yang isinya penuh dengan tai anjing, karenanya selalu mengeluh sekelilingnya bau tai anjing!" Bhikshu Dasa seketika itu juga sadar akan ucapan Mahabhikshu tersebut dan mencapai pencerahan. Diapun membatalkan niatnya untuk pindah vihara dan terus menetap di vihara tersebut.

8. Konsentrasi Benar
Konsentrasi Benar berarti meditasi dengan cara pemusatan pikiran. Meditasi berarti suatu proses latihan yang terus menerus dengan mengfokuskan suatu objek utama secara tetap tanpa tergoyahkan. Praktek meditasi yang terus-menerus akan membantu kita dalam mengembangkan konsentrasi pikiran memperoleh Kebijaksanaan dan Pencerahan.

Pikiran adalah sukar dikendalikan, sering sebelum kita duduk menjalani meditasi, kita berikrar untuk tidak memikirkan hal-hal lainnya. Namun pada kenyataannya, pikiran sering terusik untuk ikut bereaksi terhadap berbagai hal yang muncul pada saat kita sedang meditasi.

Meditasi Tanpa Suara
Suatu hari terdapatlah lima orang pemuda yang bermaksud mengadakan retreat selama tujuh hari dengan meditasi di hutan. Selama retreat berlangsung, maka ada satu pantangan yang harus dipatuhi, yaitu dilarang berbicara antar sesama dan konsentrasi hanya pada nafas. Alhasil, masing-masing menggunakan bahasa isyarat tarzan, dimana sepanjang siang hari pertama, dapat dilalui dengan berhasil tanpa satu patah kata yang keluar dari kelima pemuda tersebut.

Kemudian pada malam harinya, maka masing-masing sudah siap untuk masuk ke gubug tempat mereka tidur yang hanya diterangi satu-satunya api lilin. Menjelang tengah malam, bertiuplah angin yang kencang sehingga memadamkan api lilin tersebut, dan mulailah timbul kegelisahan di antara mereka. Setelah sekian lama dalam keadaan gelap-gulita, maka mulailah pemuda pertama berbisik pada teman di sebelahnya,"Kelihatannya api lilin itu padam!" Pemuda kedua menyahut sambil berbisik pula, "Iya..., sebaiknya ada yang menyalahkannya." Pemuda ketiga menimpali dan mengingatkan akan janji mereka, "Hei...bukankah kita sepakat untuk tidak berbicara?" Pemuda keempat mengiyakan, "Iya nih,.... koq jadi pada berisik sih..." , dan mereka berempatpun baru mulai menyadari hanya ada satu orang yang berhasil tidak berbicara sama sekali, tetapi belum sampai sedetik kemudian, pemuda kelimapun mulai berseru dan yang paling nyaring, "Ha..ha..ha..., lihatlah hanya saya yang paling hebat karena tidak berbicara sama sekali!"

Minggu, 27 Februari 2011

Empat Kebenaran Mulia


Sesudah Sang Buddha mengalami Pencerahan Sempurna dimana baru saja mengalami batin yang luhur, keleluasan dan kebajikan diri sejati, maka Beliau merasakan sangat sukar untuk dapat mengungkapkan pengalaman batinNya tersebut kepada pihak lain yang tidak akan bisa mengerti. Kemudian Sang Buddha berpikir, "Bagaimana seandainya aku hidup menghormati dan memuja AjaranKu sendiri yang telah kupahami sendiri?" Beliau terus merenung akan keraguan orang lain yang masih dikuasai oleh keserakahan dan kebencian dapat menyerap AjaranNya yang berjalan menentang arus, yang sulit dimengerti, mendalam, sukar dirasakan dan halus.

Namun dalam keraguanNya itu, muncullah di hadapan Beliau, Brahma Sahampati dari alam Brahma dan memohon kepadaNya, "Bangkitlah, O Pahlawan, pemenang dalam pertempuran, pemimpin iring-iringan, Yang bebas dari hutang, dan berkelana di dunia! Biarlah Yang Mulia mengajarkan Dharma. Akan ada yang mampu memahami Dharma."

Dengan kebijaksanaanNya yang tinggi, Sang Buddha memeriksa dunia, Beliau melihat makhluk dengan sedikit dan banyak debu di mata mereka, dengan kecerdasan yang tajam dan tumpul, dengan sifat yang baik dan buruk, makhluk yang mudah dan makhluk yang sulit untuk diajarkan Dharma, dan ada sedikit yang memandang kejahatan dan kehidupan setelah ini dengan ketakutan, kemudian Beliau menyapa Brahma Sahampati, "Terbukalah bagi mereka Pintu menuju keabadiaan. Biarlah mereka yang mempunyai telinga bersandar pada keyakinan. Sadar akan adanya kebosanan, O Brahma, Aku tidak mengajar di antara manusia, Dharma yang indah dan hebat."

Setelah menerima permintaan untuk mengajarkan Dharma berulang kali dari Brahma Sahampati, maka akhirnya Sang Buddha berpikir kepada siapa harus dimulai tugas agung pertama Beliau tersebut. Kemudian Beliau bermaksud mencari lima pertapa (Kondanna, Bhaddiya, Vappa, Mahanama dan Assaji) yang pernah menemaniNya dulu dalam cara pertapaan menyiksa diri. Setelah tiba di Taman Rusa di Benares, maka dengan penampilan Beliau yang demikian hebat telah memaksa ke lima pertapa untuk memberikan penghormatan. Sesudah meyakinkan para pertapa yang pada mulanya agak keras kepala untuk dapat menerima Ajaran Sang Buddha, akhirnya kelima pertama tersebut dapat dibimbing dan diberi petunjuk oleh Sang Buddha ke dalam bentuk pemahaman bahwa Kebebasan adalah merupakan pencapaian Nirvana [Nibbana] , yaitu bebas dari kelahiran, kelapukan, penyakit, kematian, penderitaan, dan nafsu keinginan.

Dalam khotbah Dharma pertama yang dinamakan Pemutaran Roda Dharma [Dharmacakra Pravartana/Dhammacakka Pavattana] , Sang Buddha menjelaskan Jalan Tengah [Madhyama Pratipada/Majjhima Patipada] yang telah Beliau temukan dimana merupakan intisari Ajaran Beliau. Beliau mengawali khotbah ini dengan menasihati ke lima pertapa yang waktu itu masih mempercayai cara bertapa menyiksa diri, agar dapat menghindari kemelekatan pada nafsu keinginan inderawi yang rendah [kamasukhallikanuyoga] dan cara bertapa menyiksa diri [attakilamathanuyoga] karena hal tersebut tidak akan membawa Kedamaian dan Kebebasan.

Manusia sebagai makhluk hidup memang lemah adanya dimana pada saat kita mati, keempat unsur --tanah, air, api, dan udara-- saling melebur satu per satu, dan akhirnya menyatu dengan alam semesta. Namun ketika kita hidup, kita berbagi energi yang mampu melakukan segala-galanya, dari sehelai rumput sampai menjadi seekor gajah, tumbuh dan hidup, kemudian yang tidak bisa dihindarkan, tua dan mati. Pemahaman bijaksana akan Kebebasan merupakan kelahiran yang terakhir sehingga akan bebas dari segala penderitaan.

Buddha Gautama bersabda : " Ia yang telah berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha, dengan bijaksana dapat melihat Empat Kebenaran Mulia, yaitu : dukkha, sebab dari dukkha, akhir dari dukkha, serta Delapan Ruas Jalan Kemuliaan yang menuju pada akhir dukkha. Sesungguhnya itulah perlindungan yang utama. Dengan pergi mencari perlindungan seperti itu, orang akan bebas dari segala penderitaan." (Dhammapada, 190 - 192 ).

1. Kebenaran Mulia tentang Adanya Penderitaan
Buddha Gautama menemukan bahwa pelenyapan dari penderitaan dimulai dengan mengakui kehidupan di dunia ini penuh dengan penderitaan. Jika direnungi kehidupan ini akan disadari, bahwa dunia penuh dengan penderitaan, baik penderitaan secara fisik maupun penderitaan secara mental. Penderitaan fisik terwujud dalam berbagai bentuk, dimulai saat kelahiran [jati], usia tua [jara], sakit [vyadhi] dan kematian [marana]. Sedangkan penderitaan mental antara lain; orang yang pikirannya diliputi dengan kebencian, merana, berpisah dengan orang yang dicintai, berkumpul dengan orang yang tidak disenangi, tidak tercapai kehidupan yang penuh diliputi oleh berbagai keinginan dan nafsu yang dirasakan oleh Lima Unsur Kemelekatan yang merupakan obyek yang dicerap oleh panca indera [pancarammana / pancalambana]; yaitu obyek bentuk (penglihatan), obyek suara (pendengaran), obyek bau (penciuman), obyek rasa ( pengecapan, perasaan) dan obyek sentuhan (persentuhan) ; termasuk keinginan akan kekayaan, teman yang menyenangkan, makanan minuman dan ketenaran.

Oleh karena itu, memahami keberadaan penderitaan hanyalah satu bagian dari proses. Bagaimana mengakhiri penderitaan, sehingga kita dapat bebas adalah tujuan terakhir tentang penderitaan dalam Ajaran Sang Buddha. Jika kita dapat memahami dengan jelas penyebab penderitaan itu dan menemukan jalan untuk mengatasinya, kita akan bebas dari lautan penderitaan yang dalam dan menikmati kebahagiaan sejati dalam kehidupan saat ini.

Demikian juga terdapat hakekat timbulnya suatu penderitaan yang disebabkan berbagai faktor ketidak-harmonisan :
- Ketidak-harmonisan antara benda-benda materi dengan diri kita.
- Ketidak-harmonisan antara orang-orang dengan diri kita.
- Ketidak-seimbangan antara tubuh dengan diri kita.
- Ketidak-seimbangan antara pikiran dengan diri kita.
- Ketidak-harmonisan antara keinginan dengan diri kita.
- Ketidak-harmonisan antara pandangan dengan diri kita.
- Ketidak-harmonisan antara alam dengan diri kita.

Penderitaan dan kebahagiaan pada hakekatnya sering terjadi karena ketidak-harmonisan antara pandangan dengan diri kita sendiri. Sudut pandang negatif sering menimbulkan cara berpikir pesimis, sebaliknya sudut pandang positif akan menghasilkan cara berpikir yang optimis, sebagaimana dapat dihayati pada cerita berikut ini.

Ibunda Yang Risau
Terdapat seorang nenek tua yang mempunyai dua anak perempuan yang menopang kehidupan keluarganya dengan masing-masing berjualan payung dan dupa. Anak perempuan pertama selalu mengharapkan hujan agar payungnya lebih laku. Sedangkan anak perempuan kedua mengharapkan matahari bersinar terang supaya dupanya dapat terjemur dengan kering.

Setiap kali hujan turun, ibunya yang sangat menyayangi kedua putrinya tersebut selalu merisaukan putrinya yang berjualan dupa, dan mengharapkan hujan segera berhenti. Sebaliknya kalau matahari bersinar cerah, ibunya juga merisaukan putrinya yang berjualan payung, dan mengharapkan agar segera hujan turun. Demikianlah kerisauan ibunda ini berjalan terus setiap hari, tanpa disadarinya dia telah terlarut dalam kesedihan dan penderitaan yang diciptakan oleh pikirannya sendiri.

Sampai suatu hari, datanglah seorang mahabhikshu yang melewatinya dan melihatnya sedang berkeluh-kesah. Mahabhikshu tersebut mulai menanyakannya, "Kenapa Anda bersedih sekali, apakah telah terjadi sesuatu yang menimpa keluarga Anda?" Ibu yang sangat menghormati kehidupan bhikshu ini terkejut dengan teguran tersebut dan segera memberikan hormat kepada mahabhikshu, dan menceritakan kejadian yang membuatnya hatinya risau dan sedih. Mahabhikshu yang setelah mengerti duduk perkara yang membuat ibu ini risau, maka menasehatinya, "Ibunda yang baik, mulai sekarang coba Anda memikirkan kebahagiaan putri Anda yang berjualan payung pada saat hujan, sedangkan pada saat matahari bersinar cerah pikirkanlah kebahagiaan putri Anda yang berjualan dupa. Dengan demikian Anda tidak perlu terlarut lagi dalam kesedihan."

Ibunda tersebut menuruti nasehat mahabhikshu, dan mulai memikirkan kebahagiaan putrinya yang berjualan payung pada saat turun hujan, sedangkan pada saat matahari bersinar cerah dia memikirkan kebahagiaan putrinya yang sedang menjemur dupa. Demikianlah akhirnya ibu ini tidak lagi menderita karena kerisauan pikirannya, tetapi dapat menjalani kehidupannya dengan berbahagia karena sudut pandang positifnya sendiri.

2. Kebenaran Mulia tentang Penyebab Penderitaan
Sebelum Buddha Gautama menemukan solusi terhadap masalah penderitaan dalam kehidupan ini, maka dihayati dulu penyebab dari penderitaan tersebut. Sebagaimana layaknya seorang dokter yang mengobservasi penyakit pasiennya dan mengidentifikasikan penyebab dari penyakit tersebut sebelum membuka resep obat. Buddha Gautama menemukan, bahwa penyebab langsung penderitaan adalah nafsu keinginan rendah dan kebodohan batin/ketidak-pedulian.

Nafsu Keinginan Rendah [trsna/ tanha]
Nafsu keinginan rendah merupakan suatu kemauan yang dalam terhadap kesenangan jasmani, rohani dan nafsu keduniawian. Sebagai contoh, setiap orang selalu ingin mencari makanan yang enak, permainan yang baru dan teman yang menyenangkan. Tetapi hal tersebut biasanya tidak memberikan kepuasan yang kekal. Sesudah makanan enak selesai disantap, permainan baru sudah dimainkan, teman yang menyenangkan sudah ketemu, masih saja dirasakan adanya yang kurang. Walaupun demikian tetap saja orang selalu ingin menikmati kembali kesenangan tersebut dalam kesempatan apapun dan sesering mungkin.

Orang yang ingin memiliki segala sesuatu tidaklah pernah merasa puas. Seperti anak kecil ketika diajak ke toko mainan, mereka ingin semua mainan menarik yang dapat ditemukannya. Tetapi sebentar saja anak-anak tersebut akan merasa bosan dengan apa yang telah mereka dapatkan dan menginginkan kembali sesuatu yang baru. Kadang kala mereka sampai tidak ingin makan dan tidur hanya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Walaupun kemudian ketika mereka mendapatkannya, tetap saja kegembiraan mereka tidak berakhir panjang. Kebanyakan mereka juga merasa khawatir akan kehilangan barang mainan kesayangannya yang baru. Sehingga seandainya barang mainan baru tersebut jatuh dan pecah, dimana terpaksa harus dibuang, maka mereka akan merasa kecewa dan sedih.

Adakalanya ketika kita sudah mendapatkan sesuatu yang diinginkan masih saja kita menginginkan lebih, sehingga timbul keserakahan. Karena keinginan dan keserakahan, maka orang akan berbohong, menipu dan mencuri untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Keinginan yang tidak dapat dikontrol akan menyebabkan ketagihan, misalnya merokok, minum minuman keras, makan berlebihan, dimana semuanya akan menyebabkan kerusakan mental dan fisik sehingga menimbulkan penderitaan. Selama akar nafsu keinginan rendah masih belum dihancurkan, maka penderitaan akan timbul berulang kali.

Buddha Gautama bersabda : " Sebatang pohon yang telah ditebang masih akan dapat tumbuh dan bersemi lagi, apabila akar-akarnya masih kuat dan tidak dihancurkan. Begitu pula selama akar nafsu keinginan tidak dihancurkan, maka penderitaan akan tumbuh berulang kali." (Dhammapada, 338)

Jika seseorang dihalangi untuk mendapatkan apa yang dia inginkan, maka akan menimbulkan kemarahan orang tersebut. Keinginan yang dihalangi dapat menimbulkan kebencian dan kemarahan. Sehingga dapat berbalik menjadi caci-maki, pertengkaran mulut dan bahkan perkelahian atau pembunuhan. Semua ini merupakan penderitaan yang mana akan memperkuat ikatan belenggu bagi dirinya sendiri.

Buddha Gautama bersabda : " Orang yang pikirannya kacau, penuh dengan nafsu, dan hanya melihat pada hal-hal yang menyenangkan saja, maka nafsu keinginannya akan terus bertambah. Sesungguhnya orang seperti itu hanya akan memperkuat ikatan belenggunya sendiri." (Dhammapada, 349)
Kebodohan batin [moha]

Keinginan atau kemauan seperti sebatang pohon besar yang memiliki banyak cabang. Ada cabang keserakahan, cabang kebencian dan cabang kemarahan. Buah yang muncul dari cabang tersebut adalah buah penderitaan, tetapi bagaimana pohon keinginan ini masih bisa tumbuh ? Dimana pohon tersebut dapat tumbuh ? Jawabannya adalah pohon tersebut berakar pada ketidakpedulian atau kebodohan batin. Pohon tersebut tumbuh karena ketidak-pedulian atau kebodohan batin kita sendiri. Tanpa disadari maka hal tersebut akan menggeroti batin kita ke alam yang menyedihkan bagaikan karat yang timbul dari besi itu sendiri.

Buddha Gautama bersabda : " Bagaikan karat yang timbul dari besi, bila telah timbul akan menghancurkan besi itu sendiri. Begitu pula perbuatan-perbuatan sendiri yang buruk akan menjerumuskan pelanggarnya ke alam yang menyedihkan." (Dhammapada, 240).

Kebodohan batin merupakan suatu kondisi ketidak-mampuan untuk melihat inti kebenaran dari segala sesuatu sebagaimana seharusnya. Terdapat banyak sekali kebenaran di dunia ini yang tidak dipedulikan oleh orang karena keterbatasan pengertian dan pengetahuan yang dimilikinya.

Harta atau Tenggelam
Ada suatu cerita menarik yang dapat menggambarkan situasi ini. Dimana dalam suatu perahu yang sedang akan tenggelam, orang-orang semua berusaha menyelamatkan diri tanpa peduli akan harta bendanya lagi. Namun dalam perahu tersebut terdapat seseorang yang masih sibuk mengikatkan segala harta bendanya ke seluruh badannya tanpa memperdulikan perahu yang akan tenggelam tersebut. Teman-temannya yang sudah sampai ke tepian, berteriak agar dia membuang segala hartanya dan menyelamatkan dirinya. Namun hal itu ditolak mentah-mentah dan dia tetap mementingkan harta emasnya yang berat, sehingga akhirnya menenggelamkan dirinya bersamaan dengan tenggelamnya harta emas yang diikatkan ke seluruh badannya.

Begitulah kita sulit sekali mempercayai sesuatu yang belum terbukti sebagaimana adanya, dan selalu berpegang teguh akan keyakinan sendiri tanpa peduli terhadap sekeliling kita. Ilmu fisika membuktikan, bahwa terdapat suara yang tidak dapat didengar dan gelombang cahaya yang tidak dapat dilihat. Orang mungkin tidak sadar adanya gelombang radio atau sinar ultra violet, kalau tidak ada alat khusus yang ditemukan untuk membolehkan mereka mengobservasi hal tersebut. Sejauh manusia masih tetap dilandasi ketidak-pedulian terhadap segala sesuatu yang menyangkut kehidupan di dunia ini, mereka akan tetap menderita yang disebabkan oleh kesalah-pengertian dan pikiran ilusi (maya) mereka.

Apabila manusia telah mengolah pikiran mereka dan memperoleh kebijaksanaan dari belajar, pemikiran yang benar dan meditasi yang benar, maka mereka akan melihat Kebenaran sebagai suatu Kebenaran. Mereka akan melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Mereka akan mengerti penderitaan dan ketidak-kekalan dalam kehidupan ini, hukum Sebab Akibat dan Empat Kebenaran Mulia. Dengan mengalahkan nafsu keinginan rendah dan kebodohan batin serta selalu mengarahkan batin ke Kebebasan Sejati, mereka akan memperoleh kebahagiaan dan Pencerahan seperti yang dilakukan oleh Sang Buddha sekitar 2500 tahun yang lalu.

Buddha Gautama bersabda : " Mereka yang senantiasa sadar, tekun melatih diri siang dan malam, selalu mengarahkan batin ke nibbana, maka semua kekotoran batin dalam dirinya akan musnah." (Dhammapada , 226)

Buddha Gautama mengajarkan, " Semua perbuatan tidaklah kekal." . Karma buruk juga tidak kekal dan tidak memiliki sifat diri yang mendasar. Jika kita berhenti menciptakan karma buruk dan terus menerus melakukan karma baik, suatu hari kita akan bebas dari penderitaan dan mencapai kebahagian. Sebagaimana suatu gelas berisi air garam yang apabila dituangi terus dengan air tawar, maka akan hilanglah rasa asin pada air gelas tersebut.

3. Kebenaran Mulia tentang Pelenyapan Penderitaan
Kesadaran pertapa Gautama akan pelenyapan penderitaan, sehingga memperoleh Pencerahan Sempurna sebagai Buddha pada usia 35 tahun, membuktikan usaha Beliau mencari Kebenaran bisa berhasil. Selama enam tahun, pertapa Gautama mengalami usaha yang sia-sia dalam mencari solusi terhadap masalah penderitaan makhluk hidup. Beliau juga telah mencoba berbagai cara bertapa dari para guru pertapa untuk melenyapkan penderitaan yang ternyata mereka juga belum berhasil. Hingga akhirnya Beliau menemukan solusi masalah kehidupan tersebut dengan caranya sendiri .

Keyakinan terhadap Ajaran Sang Buddha [Sraddha/Saddha]

Setelah menyadari Kebenaran dengan usaha Beliau sendiri, Buddha Gautama menawarkan kepada semua orang yang siap untuk mendengarkan.

Kura-kura dan Ikan
Ada suatu cerita kuno mengenai kura-kura dan ikan. Kura-kura dapat tinggal di darat dan juga di laut, sedangkan ikan hanya tinggal di laut. Pada suatu hari, ketika kura-kura kembali dari perjalanannya di darat, dia menceritakan kepada ikan tentang pengalamannya. Dia menjelaskan, bahwa segala makhluk hidup berjalan dan tidak ada yang berenang. Ikan tersebut menolak untuk percaya bahwa ada jalan yang kering di daratan, karena ikan tidak pernah mengalami hal tersebut.

Sama seperti manusia yang belum mengalami pelenyapan penderitaan, tetapi bukan berarti bahwa tidaklah mungkin untuk melenyapkan penderitaan. Seorang pasien haruslah mempunyai kepercayaan terhadap dokter yang berpengalaman, kalau tidak dia tidak akan menebus obatnya di apotik, sebagaimana resep yang diberikan oleh dokter tersebut, sehingga sakitnya tidak bisa disembuhkan. Demikian juga kita harus mempercayai ajaran Buddha Gautama yang telah memperlihatkan jalan untuk melenyapkan penderitaan.

Pelenyapan Penderitaan
Pelenyapan penderitaan merupakan tujuan utama Ajaran Buddha Gautama. Hal tersebut dapat dialami oleh setiap orang dimanapun mereka berada. Sebagai contoh, apabila keserakahan dan kemarahan muncul di dalam pikiran akan menyebabkan ketidakbahagiaan. Apabila perasaan serakah dan marah tersebut telah lenyap, maka pikiran akan bahagia dan damai. Untuk melenyapkan penderitaan secara tuntas, seseorang harus menghilangkan nafsu keinginan rendah, kebencian dan kebodohan batin. Inilah yang disebut Kebenaran Mulia Ketiga, yaitu Pelenyapan Penderitaan.

Mungkin Anda akan merasa bergidik, apabila mendengar kata `pelenyapan' dimana seolah-olah Ajaran Buddha Gautama menganjurkan agar semua hal-hal duniawi harus lenyap dari diri Anda, sehingga Anda tidak bebas untuk berkeluarga, mencari uang, memiliki kedudukan yang tinggi dan menikmati kesenangan hidup duniawi. Semua kekhawatiran tersebut tidaklah benar adanya. Ajaran Buddha Gautama adalah suatu ajaran yang bertujuan untuk mencari Kebahagiaan. Ajaran Buddha Gautama tidak menolak kehidupan normal, tetapi hanya menolak kehidupan yang berlebihan akan kemelekatan terhadap kenikmatan materi duniawi yang rendah saja. Sehingga apabila Anda mempercayai Ajaran Buddha Gautama, masih dapat berkeluarga, bekerja untuk mencari nafkah, dan hidup sebagaimana kehidupan normal. Dalam salah satu Sutra diuraikan, bahwa terdapat seorang umat awam yang bernama Vimalakirti yang sudah menikah dan sangat kaya. Akan tetapi dia tidak menjadi budak nafsu keinginan materi. Di dalam Sutra, ia digambarkan, " Meskipun menjalankan kehidupan berumah tangga, dia tidak memiliki keterikatan pada tiga jenis alam; meskipun menikah, dia selalu melatih kehidupan suci"

Kebahagiaan
Buddha Gautama mengajarkan, bahwa pelenyapan penderitaan merupakan kebahagiaan sempurna. Setiap langkah yang menuju kepada pelenyapan penderitaan selalu disertai dengan peningkatan kebahagiaan. Mereka yang mengikuti Ajaran Buddha Gautama akan hidup bahagia tanpa keserakahan di antara mereka yang masih dikuasai oleh nafsu keserakahan. Mereka akan merasakan hidup bahagia tanpa kebencian di antara mereka yang masih diperbudak oleh kebencian. Makin banyak keserakahan yang dapat dijauhkan, makin besarlah kebahagiaan yang akan diperoleh. Apabila kita telah dapat menghilangkan keseluruhan sifat serakah dan kebencian , maka akan diperoleh kebahagiaan sempurna sebagaimana yang dialami oleh Buddha Gautama.
Buddha Gautama bersabda : " Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa membenci di antara orang-orang yang membenci; di antara orang-orang yang membenci kita hidup tanpa membenci. Sungguh bahagia, jika kita hidup tanpa keserakahan di antara orang-orang yang serakah; di antara orang-orang yang serakah kita hidup tanpa keserakahan." (Dhammapada, 197, 199)

Pencerahan
Dengan menempatkan ajaran Buddha Gautama dalam kehidupan sehari-hari, maka akan diperoleh juga Pencerahan Sempurna. Pencerahan merupakan suatu hal yang tidak dapat dikuantifikasikan, dimana kebijaksanaan dan kasih sayang adalah yang paling utama. Dengan kebijaksanaan dan kasih sayang, Beliau mampu menolong seluruh makhluk mengatasi penderitaan.

Bagaimanakah keadaan seseorang yang telah memperolah Pencerahan ? Bagi mata orang biasa, manusia yang telah mencapai Pencerahan tampak sangat aneh. Dalam catatan Buddhisme Zen [Ch'an] , para Mahabhikshu Zen yang telah mencapai Pencerahan memiliki cara-cara yang berbeda untuk mengekspresikannya. Beberapa di antaranya tertawa terbahak-bahak, atau berdiam diri tanpa mengeluarkan sepatah katapun, hingga ada yang memukul guru mereka, di mana guru mereka dapat menyetujui tindakan tersebut. Jenis kelakuan seperti ini benar-benar tidak dapat diterima oleh orang biasa. Akan tetapi, bagi manusia yang telah memperoleh Pencerahan, ekspresi seperti ini adalah Zen [Ch'an].

Pada saat kita menyadari Kebenaran Sejati, maka pada saat itulah kita telah memperoleh Pencerahan. Sering terdapat orang yang berusaha mencari kebahagian dari hal-hal diluar dirinya, padahal Pencerahan itu sendiri ada dalam diri masing-masing. Bentuk luar hanyalah merupakan penampakan maya yang menghalangi pandangan sejati kita.

Meniru Sang Guru
Ada suatu cerita dimana terdapat seorang bhikshu muda yang berguru kepada seorang Mahabhikshu Zen yang terkenal telah memperoleh Pencerahan, sehingga dinamakan Yang Tercerahkan. Namun sesudah mengikuti sekian tahun segala tingkah laku gurunya tersebut, mulai dari bangun siang, makan berisik, jalan seenaknya, sampai hal-hal lainnya termasuk cara berteriak dan bicara, tetap saja bhikshu muda ini merasa belum mencapai pencerahan. Akhirnya timbul keraguan dalam dirinya bahwa kemungkinan besar gurunya ini belum mencapai pencerahan sebagaimana julukan yang diberikan kepadanya.

Pagi-pagi berikutnya, si bhikshu muda menemui gurunya dan telah memutuskan untuk pergi dengan berkata, "Guru, saya telah mengikuti guru sekian lama dan telah meniru segala perbuatan guru seperti bangun siang, makan berisik, jalan dan teriak seenaknya sampai kadang-kadang tiga hari tidak mandi juga sebagaimana kebiasan guru, namun saya tetap merasakan belum memperoleh pencerahan. Dan saya sendiri ragu kalau guru telah mencapai pencerahan. Untuk itu saya memutuskan meninggalkan guru!"

Mendengar itu sang Mahabhikshu ketawa, "Ha....ha....ha...., muridku yang malang. Siapa suruh engkau mencari pencerahan di luar dari dirimu sendiri. Masih untung saya tidak bertingkah laku seperti seorang suci yang telah mencapai pencerahan, karena kemungkinan Anda akan nantinya membenci semua orang suci yang engkau temui." Begitulah akhirnya bhikshu muda itupun menyadari akan suatu Kebenaran Sejati dan langsung tercerahkan, kemudian dia membatalkan keputusan untuk meninggalkan gurunya.

Kebenaran Nirvana
Pelenyapan penderitaan telah diuraikan sebagai kebahagiaan sempurna dan Pencerahan. Bagaimanapun, kondisi ini tidaklah seluruhnya mencerminkan kesunyataan dari pelenyapan penderitaan atau Nirvana. Nirvana tidak dapat begitu saja diuraikan dengan kata-kata. Usaha untuk menguraikan Nirvana hanyalah seperti mengatakan durian itu enak dan tidak seperti ketimun atau kentang. Seseorang haruslah memakan durian untuk mengetahui rasanya. Demikian juga kebenaran Nirvana haruslah dialami sendiri. Kebenaran Nirvana bukanlah dihasilkan [uppadetabba] tetapi haruslah dicapai sendiri [pattabba]. Proses pencapaian Nirvana tersebut dapat diperoleh dalam kehidupan kali ini juga, sehingga kita janganlah karena berpedoman adanya konsep tumimbal-lahir lalu menunda pencapaian Nirvana tersebut pada kelahiran yang akan datang.

Apabila setiap orang memiliki keyakinan akan Ajaran Sang Buddha dan mengamalkannya, maka mereka akan memperoleh kebahagiaan yang damai dan mengalami Pencerahan. Disebutkan dalam sutra, " Jika seseorang ingin mengetahui tentang keadaan pikiran Buddha, dia harus mengembangkan pikirannya seperti ruang kosong."

Cendekiawan Meminum Teh
Pada jaman dulu di Tiongkok terdapat seorang cendekiawan yang sangat menguasai segala filsafat kehidupan serta memiliki kedudukan yang tinggi di pemerintahan. Tetapi karena adanya suatu kesalahan dalam keputusannya yang disebabkan oleh sifat kesombongannya, maka raja mengutuskannya untuk bertemu dengan seorang Mahabhikshu Zen.
Setelah bertemu dengan Mahabhikshu tersebut yang duduk tanpa memperdulikannya, demikian juga cendekiawan tersebut yang karena kesombongannya tidak mau memberikan hormat kepada Mahabhikshu tersebut. Maka mereka berdua saling duduk tanpa terucap sepatah katapun, malah saling membuang muka persis seperti orang pacaran yang baru bertengkar hebat.

Setelah sekian lama, Mahabhikshu mulai menuangkan teh ke cawan cendekiawan tersebut. Teh terus dituangkan sampai seluruh cawan itu telah penuh dan air teh meluber keluar. Melihat ini cendekiawan tersebut berteriak, "Kenapa Anda masih menuangkan teh ini terus padahal telah penuh?" Sang Mahabhikshu memberikan suatu jawaban yang ringkas, "Sama seperti pikiran Anda yang telah penuh, sangatlah sulit untuk dapat diisi lagi!" Cendekiawan yang memang pintar ini langsung mengerti dan bersujud memanggil guru kepada Mahabhikshu tersebut.

4. Kebenaran Mulia tentang Jalan Menuju Pelenyapan Penderitaan
Kebenaran Mulia keempat ini merupakan suatu jalan yang ditemukan oleh Sang Buddha dalam mengakhiri penderitaan sehingga mencapai Pembebasan yaitu terlepas dari siklus kelahiran dan kematian. Jalan ini merupakan suatu cara yang menghindari penyiksaan diri yang melemahkan kecerdasan dan juga pemuasan nafsu keinginan rendah yang menghambat kemajuan spiritual seseorang.

Jalan Tengah
Pangeran Siddharta mengalami hidup bergelimang dalam kesenangan di kerajaan ayahndaNya. Setelah dia menolak kehidupan duniawi dan hidup sebagai seorang pertapa di hutan, Beliau menjalankan latihan pertapaan menyiksa pikiran dan badan. Hingga akhirnya pada saat sebelum Beliau memperoleh Pencerahan, disadari bahwa cara pertapaan menyiksa diri tersebut adalah sia-sia belaka. Beliau menyadari, bahwa jalan menuju kebahagiaan dan Pencerahan hanyalah dengan menghindari latihan penyiksaan diri tersebut yang kemudian diuraikan sebagai Jalan Tengah.

Tiga bentuk kehidupan yang dialami oleh Sang Buddha tersebut dapat diumpamakan seperti senar pada kecapi. Senar yang terlalu longgar (dapat diumpamakan hidup yang telalu manja) menghasilkan suara kecapi yang sumbang dan lemah. Apabila senar yang terlalu kencang (dapat diumpamakan hidup menyiksa diri) juga akan menghasilkan suara yang terlalu melengking, lagipula senarnya akan cepat putus. Hanyalah senar yang sedang, dimana tidak terlalu longgar dan tidak terlalu kencang (dapat diumpamakan Jalan Tengah) yang akan menghasilkan suara yang indah dan harmonis.

Oleh sebab itu bagi siapapun yang mengikuti Jalan Tengah dengan menghindari jalan pemanjaan diri terhadap nafsu keinginan maupun jalan penyiksaan diri yang berlebihan, dialah yang akan menemukan kebahagiaan, pikiran yang damai dan Pencerahan. Inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia Keempat; yaitu Jalan menuju pelenyapan penderitaan.

Terdapat berbagai Jalan yang diajarkan oleh Sang Buddha dalam menuju pelenyapan penderitaan tersebut yang pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari Delapan Ruas Jalan Kemuliaan seperti Empat Kondisi Pikiran Sang Buddha Yang Tidak Terbatas, Empat Prasetya, Tri-Laksana, Lima Sila, Sepuluh Perbuatan Bermanfaat, Tujuh Ciri-ciri Bodhi, Tiga Puluh Tujuh Keadaan Menuju Bodhi atau Kebuddhaan, dan Enam Paramitta.

Sang Buddha Bersabda: " Engkau sendirilah yang harus berusaha, para Tathagata hanya menunjukkan `Jalan'. Mereka yang tekun bersemadi dan memasuki `Jalan' ini akan terbebas dari belenggu Mara." (Dhammapada, 276).

Demikianlah kita harus berusaha untuk mencapai Kebebasan diri kita sendiri tanpa harus tergantung kepada bentuk-bentuk luar. Para Tathagata hanya menunjukkan Jalan dan kitalah yang harus menuju arah yang ditunjuk itu, bukan terpaku pada 'telunjuk' Tathagata. Telunjuk dapat merupakan sarana, namun tidak merupakan pemujaan. Sang Buddha mengatakan bahwa Dharma yang sesungguhnya tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, dan hanya sesama Yang Tercerahkan yang dapat mengetahuinya.

Kitab Panduan
Pada suatu masa kehidupan dahulu terdapat seorang guru yang kemana-mana selalu memberitakan kebenaran hidup. Semua hal yang telah diberitakan diminta untuk dicatat oleh murid-muridnya. Sehingga kemana-mana kitab kebenaran yang telah dicatat ini selalu menjadi bahan rujukan dalam melakukan segala perbuatan.

Sampai suatu saat, guru dan rombongan muridnya berjalan melintasi jembatan yang di bawahnya melintas arus sungai yang deras. Karena tidak hati-hati, guru tersebut terpeleset dan jatuh ke bawah. Guru tersebut berteriak dengan nyaring meminta pertolongan muridnya, beberapa murid yunior berusaha turun untuk menolong gurunya, namun terdapat beberapa murid senior yang ingat akan wejangan gurunya agar segala perbuatan haruslah merujuk kepada `kitab suci kebenaran' yang telah tercatat, sehingga seorang murid senior sambil membolak-balik `kitab suci' tersebut berteriak kepada gurunya yang sudah hampir tenggelam terbawa arus sungai, "Guru...guru.....sabar.., harap jangan tenggelam dulu, biar saya mencarikan bab pertolongan terhadap guru yang sedang tenggelam di sungai yang deras!"

Sumber : http://www.nshi.org/Buddhisme/IndonesiaBuddhisme/Empat-Kebenaran-Mulia.htm

Rabu, 16 Februari 2011

Nasib, Dapatkah Di Ubah


Nasib, Dapatkah Di Ubah?


Oleh: Yang Mulia Bhikkhu Uttamo Mahathera
--------------------------------------------------------------------------------

PENDAHULUANKemajuan jaman telah banyak mengubah perilaku manusia. Semakin lama semakin marak penggunaan teknologi canggih untuk mempermudah seseorang menjalani kehidupan. Seseorang yang ingin mengadakan perjalanan jauh, semula hanya mampu mempergunakan mobil, kini ia dapat menggunakan pesawat terbang. Pemanfaatan pesawat TV meningkatkan perolehan arus informasi global yang semula hanya didapat dari surat kabar dan radio saja. Demikian banyak segi kehidupan yang telah dipengaruhi oleh kemajuan jaman. Akan tetapi, meskipun jaman telah banyak berubah, masih cukup banyak sikap dan cara berpikir masyarakat yang relatif tetap. Konsep tentang nasib, misalnya. Sampai saat ini, masih banyak orang yang mempercayai adanya nasib. Mereka menganggap nasib telah ditentukan terlebih dahulu sebelum seseorang dilahirkan ke dunia. Nasib berlaku sejak dilahirkan sampai dengan meninggal. Nasib ini tidak akan dapat diubah walau sedemikian hebat seseorang berusaha memperbaikinya. Konsep ini memang sangat sederhana dan bermanfaat untuk membuat seseorang lebih mudah menerima penderitaan dalam kehidupan. Apabila mereka menjumpai kesulitan hidup yang tidak terpecahkan, maka jalan keluarnya adalah menyalahkan nasib buruknya sendiri dan akhirnya mereka akan tenang. Namun, apakah hal ini ada di dalam pengertian Buddhis?


Umat Buddha yang mengerti sedikit-sedikit Ajaran Sang Buddha menyadari bahwa segala sesuatu dalam kehidupan ini tidak kekal, selalu berubah. Hal ini memang sesuai dengan pengertian yang telah diuraikan oleh Sang Buddha. Oleh karena itu, mereka juga menyadari bahwa nasib pun tidaklah kekal. Artinya, nasib dapat diubah. Namun, cara untuk mengubah nasib inilah yang tidak tepat, tidak sesuai dengan Ajaran Sang Buddha. Banyak orang dalam suasana tahun baru mengunjungi para tukang ramal untuk mengetahui nasib dan masa depan mereka. Apabila sang peramal mengatakan bahwa pada tahun itu nasib mereka baik maka sungguh bahagia mereka. Sebaliknya, bila si peramal memberikan kabar buruk, mereka menjadi gelisah, cemas dan takut. Mereka kemudian bertanya dan memohon kepada si peramal untuk mengadakan upaya atau upacara tertentu yang dapat membebaskan mereka dari nasib buruk. Mereka menghabiskan banyak uang untuk mengadakan upacara tertentu tersebut agar dapat selamat dari penderitaan. Apakah hal ini bermanfaat? Kadang memang dapat memberikan manfaat, tetapi lebih sering mereka menjadi mangsa empuk paranormal gadungan. Justru pada akhirnya si paranormal lah yang lebih bahagia daripada 'mangsanya'.




Agama Buddha memang melihat kehidupan ini tidaklah kekal, selalu berubah. Dengan demikian, memang benar bahwa nasib seseorang pun dapat berubah. Nasib sesungguhnya adalah merupakan kumpulan buah perbuatan baik maupun buruk yang telah pernah dilakukan seseorang. Salah satu sabda Sang Buddha yang sangat terkenal tentang ini adalah: "Sesuai dengan benih yang ditabur, begitulah buah yang akan dipetiknya. Pembuat kebajikan akan mendapatkan kebajikan dan pembuat kejahatan akan menerima kejahatan pula. Tertaburlah olehmu biji-biji benih dan engkau pulalah yang akan memetik buah-buah dari padanya" (Samyutta Nikaya I, 227).Jelas sudah sekarang bahwa suka dan duka adalah buah perbuatan sendiri. Dengan demikian, nasib pasti dapat diperbaiki dengan melakukan suatu tindakan tertentu. Agar lebih jelas memahami Ajaran Sang Buddha yang dapat dipergunakan untuk mengubah nasib maka disusunlah makalah ini. Namun, agar terhindar dari kerancuan pengertian istilah 'nasib' yang telah berkembang di tengah masyarakat bahwa nasib tidak dapat diubah maka dalam makalah ini digunakan istilah yang lebih sesuai yaitu Kamma (Pali) atau Karma (Sanskerta). Istilah 'kamma' memang telah dipergunakan oleh Sang Buddha sendiri. Dalam pembahasan makalah akan digunakan istilah yang cukup memasyarakat yaitu 'karma'.


PEMBAHASAN


Pengertian akan adanya Hukum Karma sudah cukup lekat dalam masyarakat kita, baik di kalangan Umat Buddha maupun bukan. Walaupun pengertian itu masih bersifat setengah-setengah. Masyarakat dengan mudah mengatakan bahwa orang jahat yang kemudian tertimpa bencana itulah akibat buah karmanya. Sebaliknya, jarang terdengar bahwa orang baik yang hidup bahagia adalah juga akibat buah karmanya. Kebanyakan orang menganggap bahwa istilah 'karma' selalu berarti karma buruk. Padahal dalam pengertian Buddhis, karma berarti segala bentuk perbuatan yang dilakukan dengan niat (Anguttara Nikaya II, 82). Niat melakukan perbuatan ini dapat diwujudkan dengan prilaku badan, ucapan maupun tetap dalam pikiran saja. Perbuatan yang dilakukan dapat merupakan perbuatan baik maupun perbuatan buruk.


Memperhatikan perumpamaan yang diberikan Sang Buddha tentang Hukum Karma, dapatlah dimengerti bahwa Hukum Karma sebenarnya adalah Hukum Sebab dan Akibat. Apabila ada sebab maka timbul pula akibat; apabila hilang penyebabnya maka hilang pula akibat. Hukum Sebab dan Akibat ini adalah merupakan hakekat kehidupan. Oleh karena itu, ada beberapa kondisi alam yang juga dipengaruhi oleh Hukum Sebab dan Akibat.Kondisi ini diuraikan dalam Abhidhamma Vatara 54 sebagai HUKUM ALAM (Pancaniyama Dhamma) yaitu:


1. Bija Niyama : Hukum mengenai biji–bijian.
2. Utu Niyama : Hukum yang berkenaan dengan temperatur.
3. Kamma Niyama : Hukum Perbuatan.
4. Citta Niyama : Hukum akibat dari kemampuan pikiran.
5. Dhamma Niyama : Adanya gravitasi.

Hukum Karma (Kamma Niyama) ternyata adalah salah satu dari Hukum Sebab dan Akibat. Sesuai dengan prinsip dasar Hukum Sebab dan Akibat berarti setiap suka dan duka yang dialami pasti ada sebabnya. Apabila dapat mengatasi penyebabnya maka akibatnya pun dapat diubah. Jadi, kebahagiaan dapat dimunculkan dan penderitaan dapat dihindari asalkan mengetahui penyebab kebahagiaan dan penderitaan. Untuk dapat menumbuhkan kebahagiaan dan menghindari penderitaan, cara kerja karma harus diketahui terlebih dahulu. Pada kitab Visuddhimagga 601, cara kerja karma dibagi menjadi:
1. Karma yang menyebabkan kelahiran.

Pada saat kelahiran, seseorang tidak dapat menentukan sendiri agar dapat lahir dengan bentuk tubuh tertentu, jenis kelamin tertentu dan sebagainya. Apa yang didapat pada saat kelahiran adalah mutlak buah karma yang telah pernah diperbuat dalam kehidupan sebelumnya. Lahir sebagai lelaki atau wanita, lahir sempurna atau cacat adalah hasil kerja karma yang melahirkan berdasarkan timbunan karma baik maupun buruk yang dimilikinya.
2. Karma yang mendukung buah karma yang tengah dialami.

Kerja karma jenis kedua ini adalah memberikan tambahan atas karma yang muncul pada saat kelahiran. Apabila seorang anak lahir dengan lebih banyak memiliki karma baik sehingga ia mempunyai bentuk tubuh indah, sehat, ganteng / cantik, dan sempurna maka karma yang mendukung memberikan nilai tambah lagi yaitu, misalnya ia lahir dalam keluarga kaya raya, keturunan yang terhormat, dan seterusnya.
Sebaliknya, anak yang lahir dengan timbunan karma buruk yang cukup banyak sehingga ia memiliki tubuh cacat, wajah buruk maka akan ditambah pula dengan kelahirannya di keluarga pra sejahtera, dan kondisi keluarga yang amburadul.
Inti kerja karma ini adalah jika seseorang lahir bahagia maka akan ditambah kebahagiaannya; bila saat lahir sudah menderita maka ditambah pula menderitaannya.
3. Karma yang mengurangi buah karma yang sedang dialami.

Kehidupan bahagia dan tambah bahagia serta mereka yang menderita semakin menderita ternyata masih dapat diperbaiki. Kebahagiaan dapat ditingkatkan dan penderitaan dapat dikurangi. Inilah yang menjadi tugas karma jenis ini. Namun, tugas tersebut harus dilaksanakan sendiri. Artinya, mereka yang ingin tambah bahagia dan menghindari penderitaan harus mampu melakukan perbuatan baik. Ada banyak perbuatan baik yang dapat dilaksanakan. Dalam bagian lain makalah ini nanti akan dibahas satu demi satu.
Pengertian tentang cara kerja karma jenis inilah yang akan dapat memberikan makna dalam kehidupan. Orang akan terdorong untuk melakukan kebajikan karena menyadari bahwa buah kebahagiaan akan dialami sendiri. Sebaliknya bila ia mengalami kesulitan, ia tidak akan putus asa karena sadar bahwa ia sendirilah yang dapat mengubah tangis menjadi tawa. Dari sinilah semangat hidup dapat dibangkitkan. Dari sini pula dibangkitkan kelebihan manusia sebagai penentu suka duka hidupnya sendiri. Tidak akan ada kekecewaan di kala menderita; tiada kesombongan di kala suka karena orang telah menyadari bahwa segala suka dan duka yang dialami adalah hasil perbuatannya sendiri.
4. Karma yang memotong karma yang menyebabkan kelahiran.

Perubahan yang sangat drastis akibat perbuatan sendiri dapat menimbulkan jalan hidup yang bertentangan dengan karma yang dialami sewaktu dilahirkan. Seseorang yang sempurna tubuhnya dan lahir dari keluarga bangsawan namun ia suka mabuk-mabukan akan dapat mengakibatkan dia menderita selamanya, misalnya apabila ia mengalami kecelakaan lalu lintas yang berakibat cacat seumur hidup. Dengan demikian, hilang kesempurnaan tubuhnya dan tidak ada lagi arti keturunan bangsawan yang dimilikinya.
Sebaliknya orang yang buruk wajahnya dan lahir dikeluarga miskin, namun ia rajin dan penuh kejujuran maka ia dapat memperoleh kepercayaan dari atasannya untuk jabatan penting tertentu dalam suatu perusahaan, misalnya. Jabatan penting yang dipercayakan kepadanya akan dapat memperbaiki kondisi ekonominya yang semula sulit. Jabatan itu juga menyebabkan ia menjadi orang terhormat yang bertolak belakang dengan keadaan yang dialaminya sewaktu ia dilahirkan.



Dengan mengerti cara kerja karma di atas, maka segala perbuatan baik dan buruk yang kita lakukan adalah termasuk dalam jenis karma kelompok ketiga: Karma yang mengurangi buah karma yang sedang dialami. Apabila banyak perbuatan baik yang kita lakukan, maka kebahagiaan dapat terus ditingkatkan dan penderitaan dapat dikurangi. Sedangkan perbuatan jahat harus dihindari karena akan dapat menurunkan kebahagiaan dan meningkatkan penderitaan yang tengah dialami. Inilah kunci penting perubahan karma. Dalam Dighanikaya Atthakatha III, 999terdapat sepuluh jalan berbuat kebaikan (Dasa Puññakiriyavatthu) yaitu:
1. Dãnamaya: Memberikan dana/kerelaan

Dana atau kerelaan dalam Agama Buddha adalah menjadi dasar segala perbuatan baik. Tidak akan ada perbuatan baik yang dilakukan seseorang apabila ia tidak memiliki kerelaan. Dana yang dimaksudkan di sini tidaklah selalu hanya berhubungan dengan uang ataupun materi saja. Dana yang dibicarakan adalah dana yang bersifat materi dan juga dana yang tidak bersifat materi. Dana yang bersifat materi lebih biasa didengar, sedangkan salah satu contoh dana yang bersifat bukan materi adalah kesediaan seseorang memberi maaf kepada orang yang bersalah. Pada tingkat awal, orang memang dianjurkan berdana dalam bentuk materi, misalnya uang, pakaian, makanan maupun kebutuhan yang lain. Sesungguhnya makna dana ini adalah menumbuhkan kebiasaan berpikir untuk membahagiakan mahluk lain. Bahkan, semua mahluk. Ia akan membahagiakan mereka dengan segala macam cara. Menumbuhkembangkan pikiran yang penuh cinta kasih. Dalam Jataka 37 disebutkan bahwa apabila seseorang memiliki pikiran penuh cinta kasih maka ia akan merasa welas asih kepada semua mahluk di dunia. Semua mahluk yang ada di atas, di bawah dan di sekelilingnya, tak terbatas di manapun juga. Apabila sikap ini sudah dapat terbentuk dengan kemampuan materi, maka dapat dilanjutkan dengan memberikan hal-hal yang bukan materi. Mau mendengarkan kesulitan orang lain adalah juga termasuk berdana yang bukan materi.
2. Sîlamaya: Menjaga sila (kemoralan)

Pelaksanaan kemoralan ditujukan agar seseorang selain mampu berbuat baik, ia hendaknya juga mampu mengendalikan dirinya, mengendalikan tingkah lakunya. Dalam pelaksanaan sila, sebagai permulaan, seseorang dapat melatih lima sila atau disebut juga sebagai Pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Lima latihan kemoralan itu adalah latihan untuk tidak membunuh dan menganiaya mahluk hidup, tidak mencuri, tidak melanggar kesusilaan, tidak berbohong dan tidak mabuk-mabukan (Anguttara Nikaya III, 203). Tujuan dari pelaksanaan sila ini agar si pelaku tidak memiliki kesalahan yang dapat merugikan diri sendiri maupun pihak lain. Dengan pelaksanaan sila, selain si pelaku dapat diterima sebagai anggota masyarakat yang baik, ia pun juga termasuk melakukan karma baik. Dalam Theragatha 608 disebutkan bahwa di sini, di dunia ini, seseorang haruslah melatih dengan cermat untuk menyempurnakan kemoralan, karena kemoralan apabila dikembangkan dengan baik akan menghantarkan semua keberhasilan ke dalam genggaman. Selanjutnya, apabila pelaksanaan latihan lima sila ini ingin ditingkatkan, maka seseorang dapat melatih delapan sila sehari dalam seminggu. Lebih meningkat lagi adalah dengan melaksanakan sepuluh sila yaitu dengan menjadi samanera sementara ataupun tetap. Paling banyak latihan sila adalah dengan melakukan bhikkhu sila yaitu melatih 227 peraturan kebhikkhuan.
3. Bhãvanãmaya: Mengembangkan batin

Berdana dan melaksanakan kemoralan adalah latihan pembentukan kebiasaan yang masih berkaitan dengan unsur fisik seseorang. Kedua latihan ini sudah cukup baik, namun masih harus ditingkatkan. Apabila seseorang hanya melatih diri sampai pada unsur fisik saja, maka ia akan menjadi orang yang munafik, pandai berpura-pura; baik kelakuan tetapi jahat pikirannya. Ia hendaknya juga melatih pikirannya dengan meditasi. Meditasi sebaiknya dilatih setiap hari, pagi dan sore hari paling sedikit 15 menit atau 30 menit setiap latihan. Melalui meditasi orang dibiasakan berpikir yang baik, berkonsentrasi pada segala hal yang sedang dipikirkan, dikerjakan dan diucapkan. Tujuan utama meditasi adalah membentuk kebiasaan berpikir, hidup adalah saat ini. Pikiran seseorang sering melayang ke masa lampau ataupun yang akan datang, akibatnya timbullah perasaan suka dan duka. Suka adalah sebagai akibat tercapainya keinginan di masa lampau atau karena membayangkan kebahagiaan yang akan diperoleh di masa depan. Sebaliknya duka adalah karena keinginan di masa lampau tidak tercapai atau ketakutan membayangan masa yang akan datang. Padahal, keduanya adalah tipuan pikiran belaka. Di masa lampau seseorang pernah hidup tetapi ia sudah tidak hidup di masa itu lagi. Sedangkan masa depan, ia akan hidup tetapi belum tentu hidup. Hidup adalah saat ini. Ketakutan maupun kebahagiaan semu justru akan menyia-nyiakan kenyataan bahwa saat inilah seseorang sedang hidup!
4. Apacãyanamaya: Bersikap rendah hati dan menghormati mereka yang lebih tua

Rendah hati adalah salah satu bentuk latihan mengurangi keakuan. Keakuan menjadikan seseorang merasa sebagai tokoh utama dalam hidup ini. Tanpa dirinya seakan dunia tidak akan berputar lagi. Padahal menurut Buddha Dhamma kehidupan ini sesungguhnya dicengkeram oleh Hukum Sebab dan Akibat. Artinya, seseorang mampu mencapai kondisi seperti saat ini pasti ada sebabnya. Dan dari salah satu penyebab tersebut, pasti juga akan melibatkan pihak lain. Seseorang tidak akan pernah mampu untuk hidup sendirian dalam dunia. Ia pasti membutuhkan pihak lain untuk saling membantu. Oleh karena itu, apabila telah disadari bahwa orang tidak dapat hidup sendirian, maka orang akan mampu mengurangi rasa keakuan, mengikis kesombongan. Orang akan dapat hidup hormat menghormati. Orang akan menghormati mereka yang patut memperoleh penghormatan. Orangtua misalnya, adalah orang yang menyebabkan seseorang ada di dunia ini. Mereka pula yang membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Oleh karena itu, sudah selayaknya mereka memperoleh penghormatan. Demikian pula dengan kakak yang mungkin juga telah ikut berperan dalam menjaga dan menghindarkan seseorang dari bahaya. Para guru juga memiliki jasa dalam memberikan ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya. Serta masih sangat banyak pihak lain lagi yang amat berjasa dan berpengaruh dalam kehidupan seseorang.
Penghormatan selain sebagai sarana mengurangi keakuan, juga untuk membiasakan seseorang agar dapat mengenal budi baik orang lain. Dalam Anguttara Nikaya I, 87 dinyatakan bahwa terdapat dua tanda yang dimiliki oleh orang yang sulit dijumpai di dunia ini. Kedua tanda itu adalah, pertama, orang tersebut memiliki kemampuan dan kemauan untuk memberikan pertolongan kepada pihak lain, tanpa mengharapkan imbalan apapun juga. Kedua, orang tersebut memiliki kesadaran atas kebaikan yang telah pernah diterimanya dan berusaha untuk berbuat baik kepada fihak tersebut dengan lebih besar daripada kebaikan yang pernah diterimanya. Sesungguhnya, adalah satu perbuatan baik yang dapat cepat mengubah karma seseorang apabila ia dapat mengingat jasa kebaikan orang lain, memberikan penghormatan yang selayaknya serta membalas kebaikan mereka.
5. Veyyãvaccamay: Membantu dan bersemangat dalam melakukan hal yang patut

Perbuatan baik tidak berarti hanya berusaha menghindari kejahatan dengan melatih kemoralan. Menghindari melakukan kejahatan adalah salah satu bentuk perbuatan baik yang dikategorikan kebaikan pasif. Sebutan ini diberikan karena sifat perbuatan baik tersebut dilakukan dengan usaha menahan diri untuk tidak mengerjakan sesuatu (kejahatan). Selain itu, ada pula perbuatan baik secara aktif. Maksud perbuatan baik jenis ini adalah seseorang didorong secara aktif dan terus menerus untuk melakukan kebajikan sesuai dengan tuntunan Ajaran Sang Buddha. Banyak disebutkan dalam Dhamma tentang anjuran melakukan kebajikan. Anjuran untuk menolong mahluk lain, berdana, mengembangkan kejujuran serta masih banyak lagi bentuk perbuatan baik lainnya. Selain melakukan sendiri, seseorang hendaknya juga mau menganjurkan orang lain melakukan kebajikan yang sama dengan yang telah dilakukannya sendiri. Perbuatan ini dapat digolongkan sebagai berdana Dhamma. Bukankah dalam Dhammapada XXIV,21 disebutkan bahwa pemberian Dhamma dapat mengalahkan segenap pemberian lainnya?
6. Patidãnamaya: Melimpahkan jasa baik kita

Walaupun dalam Hukum Sebab dan Akibat disebutkan bahwa si pelaku akan memperoleh buah perbuatannya sendiri, perbuatan baik ternyata dapat dilimpahkan jasanya. Proses ini digambarkan dengan seorang anak yang menuntut ilmu di kota lain memberitakan kabar kelulusannya kepada orangtuanya di kota kelahirannya. Mendengar kabar gembira ini, ayah dan ibunya tentunya akan merasakan kebahagiaan. Padahal apabila direnungkan, si anak yang lulus tetapi mengapa orangtuanya juga merasakan kebahagiaan? Inilah yang disebutmuditã citta atau ikut bergembira atas kebahagiaan yang dirasakan oleh orang lain (Vibhangga 272 & 642).Muditã citta termasuk melakukan salah satu karma baik lewat pikiran. Oleh karena itu, kondisi sedemikian inilah yang dimunculkan oleh seorang Umat Buddha apabila melimpahkan jasa kebaikan yang dilakukannya kepada sanak keluarganya yang sudah meninggal. Sanak keluarga yang meninggal adalah seperti orangtua yang tinggal di luar kota (pada perumpamaan di atas), mereka akan ikut berbahagia atas kebajikan yang dilimpahkan kepadanya. Kebahagiaan ini berarti penimbunan karma baik lewat pikiran. Apabila pelimpahan jasa ini sering dilakukan, berarti makin banyak memberi kesempatan para leluhur menanam kebajikan. Akibatnya, apabila karma baik yang ditimbunnya sudah cukup, meninggallah mereka dari alamnya dan terlahir di alam yang lebih baik. Dengan demikian, pelimpahan jasa ini akan banyak memberikan manfaat. Pertama, manfaat didapat oleh si pelaku kebajikan sendiri. Kedua, para leluhur pun ikut menikmati kebajikannya sehingga memberikan kondisi terlahir di alam yang lebih baik. Ketiga, si pelaku dapat mengurangi keakuan, sebab semua kebajikan yang dilakukan diatasnamakan para leluhur. Keempat, obyek perbuatan baik yang menerima kebajikan juga akan memperoleh kebahagiaan. Minimal empat manfaat itulah yang dapat dirasakan dalam proses pelimpahan jasa. Oleh karena itu, dengan seringnya melakukan pelimpahan jasa akan mengkondisikan penanaman karma baik yang cukup banyak pula untuk semua fihak.
7. Pattãnumodãnamaya: Menerima dan bergembira atas perbuatan baik orang lain

Rasa berbahagia atas kebahagiaan yang didapatkan pihak lain, muditã citta, bukan hanya diperlukan untuk para leluhur yang sudah meninggal saja. Sikap pikiran yang baik ini hendaknya juga dimiliki oleh orang yang masih hidup. Hal ini karena sikap pikir ini jelas-jelas merupakan karma baik. Kebanyakan, orang merasa iri hati dengan kebahagiaan orang lain ataupun tidak senang apabila orang lain mempunyai kesempatan berbuat baik. Perasaan ini muncul karena sebagai orang yang belum mencapai kesucian, seseorang masih diliputi oleh ketamakan, kebencian dan kegelapan batin. Oleh karena itu, agar memperoleh ketenangan hidup dan sekaligus untuk menambah perbuatan baik, perasaan iri ini harus dikendalikan bahkan kalau dapat dimusnahkan. Cara memusnahkannya adalah dengan menyadari bahwa segala suka dan duka yang dialami seseorang adalah buah dari perbuatannya sendiri. Kesempatan berbuat baik dan kebahagiaan yang dialami seseorang adalah karena buah karma baiknya sendiri. Apabila seseorang sering menambah kebajikan, tentu saja kesempatan berbahagia semakin besar diperolehnya. Sebaliknya, penderitaan yang dialami seseorang juga akibat buah karma buruknya. Dengan demikian, seseorang hendaknya menghindari melakukan perbuatan yang tidak benar agar terhindar dari penderitaan. Dengan pengertian akan Hukum Sebab dan Akibat ini maka akan musnahlah iri hati dengan kebahagiaan orang lain; serta merasa sombong ketika melihat penderitaan orang lain.
8. Dhammasavanamaya: Mendengarkan Dhamma

Sebagai seorang Umat Buddha, seseorang wajib datang ke vihara mengikuti puja bhakti. Hal ini perlu ditegaskan di sini karena banyak manfaat yang diperoleh dari mengikuti puja bhakti. Pertama, sewaktu membaca ulang kotbah-kotbah Sang Buddha (Paritta) seseorang harus mempergunakan konsentrasi pikirannya. Dengan konsentrasi, maka ia akan terbebas dari pikiran yang buruk. Selama membaca Paritta pikirannya dapat diarahkan menuju ke kebaikan. Kedua, jika di kemudian hari seseorang dapat mengerti makna Paritta yang dibacanya, ia akan memperoleh pedoman hidup yang tiada taranya. Pedoman yang sederhana, mudah dilaksanakan dan membimbing orang untuk lebih percaya diri. Ketiga, di vihara seseorang diberi kesempatan untuk melatih meditasi yang merupakan salah satu sarana mengendalikan pikiran. Dengan pikiran terkendali, niatan melakukan perbuatan jahat dapat dikikis sedangkan niat berbuat baik dapat dipupuk. Keempat, di vihara seseorang memiliki kesempatan mendengarkan Ajaran Sang Buddha. Seperti yang telah diketahui bahwa Dhamma yang telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Buddha adalah merupakan bekal penting dalam kehidupan. Inti sari Ajaran Sang Buddha adalah menumbuhkan sikap yang benar dalam menghadapi perubahan dalam hidup. Sebab orang sering kecewa dengan kenyataan hidup. Segala sesuatu yang diinginkannya tidak tercapai, sebaliknya hal yang diperoleh justru bukan yang diinginkannya. Mendengarkan Dhamma adalah ibarat memberikan tenaga tambahan pada batin seseorang yang mungkin lelah dalam menghadapi kenyataan hidup. Mendengarkan Dhamma menjadi penting karena banyak manfaat yang diperoleh. Kitab Anguttara Nikaya III, 248disebutkan beberapa manfaat mendengarkan Dhamma, yaitu:
a. Memperoleh pengertian yang belum pernah didengar sebelumnya.
b. Memperjelas hal yang telah pernah didengar sebelumnya.
c. Menghilangkan keraguan tentang hal yang telah pernah didengar.
d. Memberikan pengertian yang benar.
e. Menimbulkan pikiran yang jernih, terang, dan bahagia.

Mengingat cukup banyak manfaat datang ke vihara mengikuti puja bhakti, maka jelas sudah tidak akan ada lagi keraguan untuk melaksanakannya. Bukankah setiap orang ingin meningkatkan kualitas hidupnya? Bukankah orang ingin hidup lebih berbahagia daripada yang tengah dirasakan saat ini? Sering pergi ke vihara adalah merupakan salah satu cara mencapainya. Ikut puja bhakti dan mendengarkan Dhamma adalah cara efektif dan efisien untuk menambah kebajikan dan meningkatkan kualitas diri.
9. Dhammadesanãmaya: Memberikan kotbah Dhamma

Ajaran Sang Buddha yang telah pernah di dapat baik dari vihara maupun dari sumber-sumber lainnya hendaknya dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Pelaksanaan Dhamma ini jauh lebih penting daripada hanya sekedar menghafalkannya. Dengan mencoba menjalankan Ajaran Sang Buddha, seseorang akan dapat merasakan manfaat langsung. Merasakan manfaat Dhamma secara nyata ini hendaknya menjadi semangat untuk menceritakan dan mendorong orang lain agar melaksanakan Dhamma dengan baik pula. Dalam pengertian Buddhis, seseorang dihargai bukan karena banyaknya Dhamma yang dipelajari dan dimengerti tetapi adalah dari seberapa banyak Dhamma yang telah dilaksanakan dalam hidupnya. i>Dhammapada VIII, 3 menyebutkan bahwa daripada seribu bait syair yang tidak bermanfaat, adalah lebih baik satu kata Dhamma yang dapat memberikan kedamaian kepada pendengarnya. Jelaslah di sini bahwa kualitas lebih diutamakan daripada kuantitas. Oleh karena itu, bersedia menceritakan secara sederhana pengalaman sendiri setelah melaksanakan Dhamma akan mendorong orang lain mengikutinya. Menjadikan orang lain memiliki kesempatan mendapatkan pengalaman yang serupa, kebahagiaan. Keberhasilan menganjurkan orang melaksanakan Dhamma adalah merupakan Dhamma dana yang diakui akan memberikan buah terbesar melampaui segala bentuk pemberian lainnya. Banyak cara digunakan untuk membagikan pengalaman melaksanakan Dhamma. Cerita bebas atau 'ngobrol' Dhamma, ceramah resmi maupun hanya berupa 'kesaksian' Dhamma dalam forum terbatas, cetak buku Dhamma, membiayai anak asuh ke sekolah Buddhis, dsb. Adalah beberapa contoh cara memberikan Dhamma kepada orang-orang di lingkungan sendiri.
10. Ditthujukakamma: Membenarkan pengertian salah

Perbuatan baik yang kesepuluh ini adalah kelanjutan dari uraian yang kesembilan di atas. Seseorang pada saat akan membagikan pengalaman Dhamma, hendaknya memiliki tujuan. Salah satu tujuan pokok adalah untuk memberikan pengertian yang benar akan hakekat kehidupan. Cukup banyak pengertian yang tidak tepat yang beredar dalam masyarakat. Misalnya, tentang pengertian nasib yang tidak dapat diubah sama sekali atau cara mengubah nasib yang kurang sesuai. Akan menjadi tugas bersama para umat Buddha untuk memberikan pengertian benar dengan berlandaskan cinta kasih. Kasihanilah mereka yang masih belum mengerti. Janganlah mereka dimusuhi. Berilah kesempatan kepada mereka untuk meningkatkan kualitas dirinya. Dengan memiliki pola pikir demikian akan membangkitkan semangat para umat Buddha membagikan Dhamma secara bijaksana dan penuh cinta kasih serta kesabaran. Tindakan ini jelas-jelas akan menjadikan peningkatan karma baik kedua belah pihak secara maksimal. Pada akhirnya, mereka yang memupuk karma baik yang terbanyaklah yang akan segera mendapatkan kebahagiaan. Mendapatkan perubahan kualitas kehidupan.



KESIMPULAN


1. Segala sesuatu di dunia tidaklah kekal, selalu berubah.
2. Perjalanan hidup seseorang juga dapat berubah.
3. Perubahan perjalanan hidup ditentukan oleh perbuatannya sendiri.
4. Ada, paling sedikit, sepuluh perbuatan yang dapat mengubah kehidupan


[ Dikutip dari Naskah Simposium "Pengaruh Tata Letak Dan Perilaku Dalam Meningkatkan Kebahagiaan ]

Selasa, 15 Februari 2011

BHAVANA


1. PENGERTIAN BHAVANA

Bhavana berarti pengembangan, yaitu pengembangan batin dalam melaksanakan pembersihannya. Istilah lain yang arti dan pemakaiannya hampir sama dengan bhavana adalah samadhi. Samadhi berarti pemusatan pikiran pada suatu obyek.

Samadhi yang benar (samma samadhi) adalah pemusatan pikiran pada obyek yang dapat menghilangkan kekotoran batin tatkala pikiran bersatu dengan bentuk-bentuk karma yang baik, sedangkan samadhi yang salah (miccha samadhi) adalah pemusatan pikiran pada obyek yang dapat menimbulkan kekotoran batin tatkala pikiran bersatu dengan bentuk-bentuk karma yang tidak baik. Jika dipergunakan istilah samadhi, maka yang dimaksud adalah "Samadhi yang benar".

2. FAEDAH BHAVANA

Bhavana atau meditasi yang benar akan memberikan faedah bagi orang bagi orang yang melaksanakannya. Faedah-faedah yang timbul dalam kehidupan sehari-hari dari praktek meditasi itu adalah :

1. Bagi orang yang selalu sibuk, meditasi akan menolong dia untuk membebaskan diri dari ketegangan dan mendapatkan relaksasi atau pelemasan.

2. Bagi orang yang sedang bingung, meditasi akan menolong dia untuk menenangkan diri dari kebingungan dan mendapatkan ketenangan yang bersifat sementara maupun yang bersifat permanen (tetap).

3. Bagi orang yang mempunyai banyak problem atau persoalan yang tidak putus-putusnya, meditasi akan menolong dia untuk menimbulkan ketabahan dan keberanian serta mengembangkan kekuatan untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut.

4. Bagi orang yang kurang percaya diri sendiri, meditasi akan menolong dia untuk mendapatkan keparcayaan kepada diri sendiri yag sangat dibutuhkannya itu.

5. Bagi orang yang mempunyai rasa takut dalam hati atau kebimbangan, meditasi akan menolong dia untuk mendapatkan pengertian terhadap keadaan atau sifat yang sebenarnya dari hal-hal yang menyebabkannya takut dan selanjutnya dia akan dapat mengatasi rasa takut itu dalam pikirannya.

6. Bagi orang yang selalu merasa tidak puas terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya atau dalam kehidupan ini, meditasi akan memberikan dia perubahan dan perkembangan yang menuju pada kepuasan batin.

7. Bagi orang yang pikirannya sedang kacau dan berputus asa karena kurangnya pengertian akan sifat kehidupan dan keadaan dunia ini, meditasi akan menolong dia utnuk memberikan pengertian padanya bahwa pikirannya itu kacau untuk hal-hal yang tidak ada gunanya.

8. Bagi orang yang ragu-ragu dan tidak begitu tertarik kepada agama, meditasi akan menolong dia untuk mengatasi keragu-raguannya itu dan untuk melihat segi-segi serta nilai-nilai yang praktis dalam bimbingan agama.

9. Bagi seorang pelajar atau mahasiswa, meditasi akan menolong dia untuk menimbulkan dan menguatkan ingatannya serta untuk belajar lebih seksama dan lebih efisien.

10.Bagi orang yang kaya, meditasi akan menolong dia untuk dapat melihat sifat dan kegunaan dari kekayaannya itu, bagaimana cara menggunakan harta tersebut untuk kebahagiaan dirinya sendiri dan kebahagiaan orang lain.

11.Bagi orang miskin, meditasi akan menolong dia untuk memiliki rasa puas dan ketenangan serta tidak melampiaskan rasa iri hati terhadap orang lain yang lebih mampu daripadanya.

12.Bagi seorang pemuda yang sedang berada dalam persimpangan jalan dari kehidupan ini dan dia tidak tahu jalan mana yang akan ditempuhnya, meditasi akan menolong dia untuk mendapatkan pengertian dalam menempuh salah satu jalan yang akan membawa ke tujuannya.

13.Bagi orang yang telah lanjut usia yang telah bosan dengan kehidupan ini, meditasi akan menolong dia ke dalam pengertian yang lebih mendalam mengenai kehidupan ini, dan pengertian tersebut akan memberi dia kelegaan dan kebebasan dari penderitaan serta pahit getirnya kehidupan ini, dan akan menimbulkan kegairahan yang baru bagi dirinya.

14.Bagi orang yang mudah marah, meditasi akan menolong dia mengembangkan kekuatan kemauan untuk mengatasi kelemahan-kelemahannya.

15.Bagi orang yang bersifat iri hati, meditasi akan menolong dia untuk mengerti tentang bahayanya sifat iri hati itu.

16.Bagi orang yang diperbudak oleh panca inderanya, meditasi akan menolong dia untuk belajar menguasai nafsu-nafsu dan keinginannya itu.

17.Bagi orang yang telah ketagihan minuman keras yang memabukkan, meditasi akan menolong dia untuk menyadari dirinya dan melihat cara mengatasi kebiasaan yang berbahaya itu yang telah memperbudak dan mengikat dirinya.

18.Bagi orang yang tidak terpelajar atau bodoh, meditasi akan memberikan dia kesempatan untuk mengenal diri dan mengembangkan pengetahuan-pengetahuan yang sangat berguna untuk kesejahteraan diri sendiri dan untuk keluarga serta handai taulannya.

19.Bagi orang yang sungguh-sungguh melakukan latihan meditasi yang benar ini, maka nafsu-nafsu dan emosinya tak mempunyai kesempatan untuk memperbodohi dirinya lagi.

20.Bagi orang yang bijaksana, meditasi akan membawa dia kepada kesadaran yang lebih tinggi dan pencapaian penerangan sempurna; dia akan dapat melihat segala sesuatu dengan sewajarnya dan tidak akan terseret lagi ke dalam persoalan-persoalan yang remeh.

21.Selanjutnya, dalam agama Buddha, meditasi yang benar itu dipergunakan untuk membebaskan diri dari segala penderitaan, untuk mencapai Nibbana.

Demikianlah beberapa faedah praktis yang dapat dihasilkan dari latihan meditasi.
Faedah-faedah ini merupakan milik yang akan ditemui dalam pikiran sendiri.

3. CARA MELAKSANAKAN BHAVANA

Orang yang baru belajar meditasi sebaiknya mencari tempat yang cocok untuk melakukan meditasi. Tempat itu adalah tempat yang sunyi dan tenang, bebas dari gangguan orang-orang di sekitarnya, bebas dari gangguan nyamuk. Untuk tahap permulaan, hendaknya orang berlatih di tempat yang sama, jangan pindah-pindah tempat. Jika meditasinya telah maju, maka dapat dilakukan di mana saja di setiap tempat, baik di kantor, di pasar, di kebun, di hutan, di goa, dikuburan, maupun di tempat yang ramai.

Waktu untu melaksanakannya dapat dipilih sendiri. Biasanya waktu yang baik untuk bermeditasi adalah pagi hari antara pukul 04.00 sampai pukul 07.00 dan malam hari antara pukul 17.00 sampai pukul 22.00. Jika waktu untuk bermeditasi telah ditentukan, maka waktu tersebut hendaknya digunakan khusus untuk bermeditasi. Meditasi sebaiknya dilakukan setiap hari dengan waktu yang sama secara teratur atau kontinyu. Bila meditasinya telah maju, maka dapat dilakukan kapan saja, pada setiap waktu.

Orang bebas memilih posisi meditasi. Biasanya posisi meditasi yang baik adalah duduk bersila di lantai yang beralas, dengan meletakkan kaki kanan di atas kaki kiri, dan tangan kanan menumpu tangan kiri di pangkuan. Atau boleh juga dalam posisi setengah sila, dengan kaki dilipat ke samping. Bahkan kalau tidak memungkinkan, maka dipersilahkan duduk di kursi. Yang penting adalah bahwa badan dan kepala harus tegak, tetapi tidak kaku atau tegang. Duduklah seenaknya, jangan bersandar. Mulut dan mata harus tertutup. Selama meditasi berlangsung hendaknya diusahakan untuk tidak menggerakkan anggota badan, jika tidak perlu. Namun bila badan jasmani merasa tidak enak, maka diperbolehkan untuk menggerakkan tubuh atau mengubah sikap meditasi. Tetapi, hal ini harus dilakukan perlahan-lahan, disertai dengan penuh perhatian dan kesadaran. Jika meditasinya telah maju, maka dapat dilakukan dalam berbagai posisi, baik berdiri, berjalan, maupun berbaring.
Sebelum melaksanakan meditasi, sebaiknya diminta petunjuk atau nasehat dari guru meditasi atau mereka yang telah berpengalaman mengenai meditasi, agar dapat dicapai sukses dalam bermeditasi.

Pada saat hendak bermeditasi, sebaiknya dibacakan paritta terlebih dahulu. Selanjutnya, laksanakanlah meditasi dengan tekun. Pikiran dipusatkan pada obyek yang telah dipilih. Pada tingkat permulaan, tentunya pikiran akan lari dari obyek. Hal ini biasa, karena pikiran itu lincah, binal, dan selalu bergerak. Namun, hendaknya orang yang bermeditasi selalu sadar dan waspada terhadap pikiran. Bila pikiran itu lari dari obyek, ia sadar bahwa pikiran itu lari, dan cepat mengembalikan pikiran itu pada obyek semula. Bila hal ini dapat dilaksanakan dengan baik, maka kemajuan dalam meditasi pasti akan diperoleh.

Pembagian Bhavana

Bhavana dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1. Samatha Bhavana, berarti pengembangan ketenangan batin.
2. Vipassana Bhavana, berarti pengembangan pandangan terang.
Diantara kedua jenis bhavana ini terdapat perbedaan. Perbedaan itu mencakup:

1.Tujuannya

Samatha Bhavana merupakan pengembangan batin yang bertujuan untuk mencapai ketenangan. Dalam Samatha Bhavana, batin terutama pikiran terpusat dan tertuju pada suatu obyek. Jadi pikiran tidak berhamburan ke segala penjuru, pikiran tidak berkeliaran kesana kemari, pikiran tidak melamun dan mengembara tanpa tujuan.

Dengan melaksanakan Samatha Bhavana, rintangan-rintangan batin tidak dapat dilenyapkan secara menyeluruh. Jadi kekotoran batin hanya dapat diendapkan, seperti batu besar yang menekan rumput hingga tertidur di tanah. Dengan demikian, Samatha Bhavana hanya dapat mencapai tingkat-tingkat konsentrasi yang disebut jhana-jhana, dan mencapai berbagai kekuatan batin.

Sesungguhnya pikiran yang tenang bukanlah tujuan terakhir dari meditasi. Ketenangan pikiran hanyalah salah satu keadaan yang diperlukan untuk mengembangkan pandangan terang atau Vipassana Bhavana.

Vipassana Bhavana merupakan pengembangan batin yang bertujuan untuk mencapai pandangan terang. Dengan melaksanakan Vipassana Bhavana, kekotoran-kekotoran batin dapat disadari dan kemudian dibasmi sampai keakar-akarnya, sehingga orang yang melakukan Vipassana Bhavana dapat melihat hidup dan kehidupan ini dengan sewajarnya, bahwa hidup ini dicengkeram oleh anicca (ketidak-kekalan), dukkha (derita), dan anatta (tanpa aku yang kekal). Dengan demikian, Vipassana Bhavana dapat menuju ke arah pembersihan batin, pembebasan sempurna, pencapaian Nibbana.

Sesungguhnya "dalam kitab suci telah ditulis bahwa hanya dengan pandangan terang inilah kita dapat menyucikan diri kita, dan tidak dengan jalan lain".

2. Obyeknya

Obyek yang dipakai dalam Samatha Bhavana ada 40 macam. Obyek-obyek itu adalah sepuluh kasina, sepuluh asubha, sepuluh anussati, empat appamañña, satu aharapatikulasañña, satu catudhatuvavatthana, dan empat arupa. Sebaliknya, obyek yang dipakai dalam Vipassana Bhavana adalah nama dan rupa (batin dan materi), atau empat satipatthana.

3.Penghalangnya

Dalam melaksanakan Samatha Bhavana, pada umumnya orang yang bermeditasi sering mendapat gangguan atau halangan atau rintangan, yaitu lima nivarana dan sepuluh palibodha. Dalam melaksanakan Vipassana Bhavana, terdapat pula rintangan-rintangan yang dapat menghambat perkembangan pandangan terang, yang disebut sepuluh vipassanupakilesa.

Samatha Bhavana


1. EMPAT PULUH MACAM OBYEK MEDITASI

Dalam Samatha Bhavana ada 40 macam obyek meditasi. Obyek-obyek meditasi ini dapat dipilih salah satu yang kiranya cocok dengan sifat atau pribadi seseorang. Pemilihan ini dimaksudkan untuk membantu mempercepat perkembangannya. Pemilihan sebaiknya dilakukan dengan bantuan seorang guru.

Keempat puluh macam obyek meditasi itu adalah :
a. Sepuluh kasina (sepuluh wujud benda), yaitu :
1. Pathavi kasina = wujud tanah
2. Apo kasina = wujud air
3. Teja kasina = wujud api
4. Vayo kasina = wujud udara atau angin
5. Nila kasina = wujud warna biru
6. Pita kasina = wujud warna kuning
7. Lohita kasina = wujud warna merah
8. Odata kasina = wujud warna putih
9. Aloka kasina = wujud cahaya
10.Akasa kasina = wujud ruangan terbatas

b. Sepuluh asubha (sepuluh wujud kekotoran), yaitu :
1. Uddhumataka = wujud mayat yang membengkak
2. Vinilaka = wujud mayat yang berwarna kebiru-biruan
3. Vipubbaka = wujud mayat yang bernanah
4. Vicchiddaka = wujud mayat yang terbelah di tengahnya
5. Vikkahayitaka = wujud mayat yang digerogoti binatang-binatang
6. Vikkhittaka = wujud mayat yang telah hancur lebur
7. Hatavikkhittaka = wujud mayat yang busuk dan hancur
8. Lohitaka = wujud mayat yang berlumuran darah
9. Puluvaka = wujud mayat yang dikerubungi belatung
10.Atthika = wujud tengkorak

c. Sepuluh anussati (sepuluh macam perenungan), yaitu :
1. Buddhanussati = perenungan terhadap Buddha
2. Dhammanussati = perenungan terhadap Dhamma
3. Sanghanussati = perenungan terhadap Sangha
4. Silanussati = perenungan terhadap sila
5. Caganussati = perenungan terhadap kebajikan
6. Devatanussati = perenungan terhadap makhluk-makhluk agung atau para dewa
7. Marananussati = perenungan terhadap kematian
8. Kayagatasati = perenungan terhadap badan jasmani
9. Anapanasati = perenungan terhadap pernapasan
10. Upasamanussati = perenungan terhadap Nibbana atau Nirwana

d. Empat appamañña (empat keadaan yang tidak terbatas), yaitu :
1. Metta = cinta kasih yang universal, tanpa pamrih
2. Karuna = belas kasihan
3. Mudita = perasaan simpati
4. Upekkha = keseimbangan batin

e. Satu aharapatikulasanna (satu perenungan terhadap makanan yang menjijikkan)

f. Satu catudhatuvavatthana (satu analisa terhadap keempat unsur yang ada di dalam badan jasmani)

g. Empat arupa (empat perenungan tanpa materi), yaitu :
1. Kasinugaghatimakasapaññatti = obyek ruangan yang sudah keluar dari kasina
2. Akasanancayatana-citta = obyek kesadaran yang tanpa batas
3. Natthibhavapaññati = obyek kekosongan
4. Akincaññayatana-citta = obyek bukan pencerapan pun tidak bukan pencerapan

Berikut penjelasan lebih mendetil tentang masing-masing obyek meditasi diatas :

a. Sepuluh kasina (sepuluh wujud benda)

Dalam kasina tanah, dapat dipakai kebun yang baru dicangkul atau segumpal tanah yang dibulatkan. Dalam kasina air, dapat dipakai sebuah telaga atau air yang ada di dalam ember. Dalam kasina api, dapat dipakai api yang menyala yang di depannya diletakkan seng yang berlobang. Dalam kasina angin, dapat dipakai angin yang berhembus di pohon-pohon atau badan. Dalam kasina warna, dapat dipakai benda-benda seperti bulatan dari kertas, kain, papan, atau bunga yang berwarna biru, kuning, merah, atau putih. Dalam kasina cahaya, dapat dipakai cahaya matahari atau bulan yang memantul di dinding atau di lantai melalui jendela dan lain-lain. Dalam kasina ruangan terbatas, dapat dipakai ruangan kosong yang mempunyai batas-batas disekelilingnya seperti drum dan lain-lain.

Disini, mula-mula orang harus memusatkan seluruh perhatiannya pada bulatan yang berwarna biru misalnya. Selanjutnya, dengan memandang terus pada bulatan itu, orang harus berjuang agar pikirannya tetap berjaga-jaga, waspada, dan sadar. Sementara itu, benda-benda di sekeliling bulatan tersebut seolah-olah lenyap, dan bulatan tersebut kelihatan menjadi makin semu dan akhirnya sebagai bayangan pikiran saja. Kini, walaupun mata dibuka atau ditutup, orang masih melihat bulatan biru itu di dalam pikirannya, yang makin lama makin terang seperti bulatan dari rembulan.

b. Sepuluh asubha (sepuluh wujud kekotoran)

Dalam sepuluh asubha ini, orang melihat atau membayangkan sesosok tubuh yang telah menjadi mayat diturunkan ke dalam lubang kuburan, membengkak, membiru, bernanah, terbelah di tengahnya, dikoyak-koyak oleh burung gagak atau serigala, hancur dan membusuk, berlumuran darah, dikerubungi oleh lalat dan belatung, dan akhirnya merupakan tengkorak. Selanjutnya, ia menarik kesimpulan terhadap badannya sendiri, "Badanku ini juga mempunyai sifat-sifat itu sebagai kodratnya, tidak dapat dihindari". Disinilah hendaknya orang memegang dengan teguh di dalam pikirannya obyek yang berharga yang telah timbul, seperti gambar pikiran mengenai mayat yang membengkak dan lain-lain.

c. Sepuluh anussati (sepuluh macam perenungan)

Dalam Buddhanussati, direnungkan sembilan sifat Buddha. Kesembilan sifat Buddha tersebut adalah maha suci, telah mencapai penerangan sempurna, sempurna pengetahuan dan tingkah lakunya, sempurna menempuh jalan ke Nibbana, pengenal semua alam, pembimbing manusia yang tiada taranya, guru para dewa dan manusia, yang sadar, yang patut dimuliakan.

Dalam Dhammanussati, direnungkan enam sifat Dhamma. Keenam sifat Dhamma itu adalah telah sempurna dibabarkan, nyata di dalam kehidupan, tak lapuk oleh waktu, mengundang untuk dibuktikan, menuntun ke dalam batin, dapat diselami oleh para bijaksana dalam batin masing-masing.

Dalam Sanghanussati, direnungkan sembilan sifat Ariya-Sangha. Kesembilan sifat Ariya-Sangha itu adalah telah bertindak dengan baik, telah bertindak lurus, telah bertindak benar, telah bertindak patut, patut menerima persembahan, patut menerima tempat bernaung, patut menerima bingkisan, patut menerima penghormatan, lapangan untuk menanam jasa yang tiada taranya di alam semesta.

Dalam silanussati, direnungkan sila yang telah dilaksanakan, yang tidak patah, yang tidak ternoda, yang dipuji oleh para bijaksana, dan menuju pemusatan pikiran.

Dalam caganussati, direnungkan kebajikan berdana yang telah dilaksanakan, yang menyebabkan musnahnya kekikiran.

Dalam devatanussati, direnungkan makhluk-makhluk agung atau para dewa yang berbahagia, yang sedang menikmati hasil dari perbuatan baik yang telah dilakukannya.

Dalam marananussati, orang harus merenungkan bahwa pada suatu hari, kematian akan datang menyongsongku dan makhluk lainnya; bahwa badan ini harus dibagi-bagikan olehku kepada ulat-ulat, kutu, belatung, dan binatang lainnya yang hidup dengan ini; bahwa tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan, di mana, dan melalui apa orang akan meninggal, serta keadaan yang bagaimana menungguku setelah kematian.

Dalam kayagatasati, orang merenungkan 32 bagian anggota tubuh, dari telapak kaki ke atas dan dari puncak kepala ke bawah, yang diselubungi kulit dan penuh kekotoran; bahwa di dalam badan ini terdapat rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, selaput dada, limpa, paru-paru, usus, saluran usus, perut, kotoran, empedu, lendir, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak kulit, ludah, ingus, cairan sendi, air kencing, dan otak.

Dalam anapanasati, orang merenungkan keluar masuknya napas. Dengan sadar ia menarik napas, dengan sadar ia mengeluarkan napas.

Dalam upasamanussati, orang merenungkan Nibbana atau Nirwana yang terbebas dari kekotoran batin, hancurnya keinginan, putusnya lingkaran tumimbal lahir.

d. Empat appamañña (empat keadaan yang tidak terbatas)

Empat appamañña ini sering disebut juga sebagai Brahma-Vihara (kediaman yang luhur). Dalam melaksanakan metta-bhavana, seseorang harus mulai dari dirinya sendiri, karena ia tidak mungkin dapat memancarkan cinta kasih sejati bila ia membenci dan meremehkan dirinya sendiri. Setelah itu, cinta kasih dipancarkan kepada orang tua, guru-guru, teman-teman laki-laki dan wanita sekaligus.

Akhirnya, yang tersulit adalah memancarkan cinta kasih kepada musuh-musuhnya. Dalam hal ini mungkin timbul perasaan dendam atau sakit hati. Namun, hendaknya diusahakan untuk mengatasi kebencian itu dengan merenungkan sifat-sifat yang baik dari musuhnya dan jangan menghiraukan kejelekan-kejelekan yang ada padanya. Perlu diingat bahwa kebencian hanya dapat ditaklukkan dengan cinta kasih.

Dalam karuna-bhavana, orang memancarkan belas kasihan kepada orang yang sedang ditimpa kemalangan, diliputi kesedihan, kesengsaraan, dan penderitaan.

Dalam mudita-bhavana, orang memancarkan perasaan simpati kepada orang yang sedang bersuka-cita; ia turut berbahagia melihat kebahagiaan orang lain.

Dalam upekkha-bhavana, orang akan tetap tenang menghadapi suka dan duka, pujian dan celaan, untung dan rugi.

e. Satu aharapatikulasañña (satu perenungan terhadap makanan yang menjijikkan)

Dalam satu aharapatikulasañña, direnungkan bahwa makanan adalah barang yang menjijikkan bila telah berada di dalam perut; direnungkan bahwa apapun yang telah dimakan, diminum, dikunyah, dicicipi, semuanya akan berakhir sebagai kotoran (tinja) dan air seni (urine).

f. Satu catudhatuvavatthana (satu analisa terhadap keempat unsur yang ada di dalam badan jasmani)

Dalam satu catudhatuvavatthana, direnungkan bahwa di dalam badan jasmani terdapat empat unsur materi, yaitu :

1. Pathavi-dhatu (unsur tanah atau unsur padat), ialah segala sesuatu yang bersifat keras atau padat. Umpamanya : rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, dan lain-lain.

2. Apo-dhatu (unsur air atau unsur cair), ialah segala sesuatu yang bersifat berhubungan yang satu dengan yang lain atau melekat. Umpamanya : empedu, lendir, nanah, darah, dan lain-lain.

3. Tejo-dhatu (unsur api atau unsur panas), ialah segala sesuatu yang bersifat panas dingin. Umpamanya : setelah selesai makan dan minum, atau bila sedang sakit, badan akan terasa panas dingin.

4. Vayo-dhatu (unsur angin atau unsur gerak), ialah segala sesuatu yang bersifat bergerak. Umpamanya : angin yang ada di dalam perut dan usus, angin yang keluar masuk waktu bernapas, dan lain-lain.

g. Empat arupa (empat perenungan tanpa materi)

Dalam kasinugaghatimakasapaññati, batin yang telah memperoleh gambaran kasina dikembangkan ke dalam perenungan ruangan yang tanpa batas sambil membayangkan, "Ruangan! Ruangan! Tak terbatas ruangan ini!" dan kemudian gambaran kasina dihilangkan. Jadi, pikiran ditujukan kepada ruangan yang tanpa batas, dipusatkan di dalamnya, dan menembus tanpa batas.

Dalam akasanancayatana-citta, ruangan yang tanpa batas itu ditembus dengan kesadarannya sambil merenungkan, "Tak terbataslah kesadaran itu". Ia harus berulang-ulang memikirkan penembusan ruangan itu dengan sadar, mencurahkan perhatiannya kepada hal tersebut.

Dalam natthibhavapaññati, orang harus mengarahkan perhatiannya pada kekosongan atau kehampaan dan tidak ada apa-apanya dari kesadaran terhadap ruangan yang tanpa batas itu. Ia terus menerus merenungkan, "Tidak ada apa-apa di sana! Kosonglah adanya ini".

Dalam akincaññayatana-citta, orang merenungkan keadaan kekosongan sebagai ketenangan atau kesejahteraan, dan setelah itu ia mengembangkan pencapaian dari sisa unsur-unsur batin yang penghabisan, yaitu perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran sampai batas kelenyapannya. Jadi, setelah kekosongan itu dicapai, maka kesadaran mengenai kekosongan itu dilepas, seolah-olah tidak ada pencerapan lagi

2. LIMA MACAM NIVARANA DAN SEPULUH MACAM PALIBODHA

Lima macam nivarana

Nivarana berarti rintangan atau penghalang batin yang selalu menghambat perkembangan pikiran. Nivarana ini ada lima macam, yaitu:
1. Kamachanda (nafsu-nafsu keinginan)
2. Byapada (kemauan jahat)
3. Thina-middha (kemalasan dan kelelahan)
4. Uddhacca-kukkucca (kegelisahan dan kekhawatiran)
5. Vicikiccha (keragu-raguan)

Untuk menaklukkan kelima rintangan tersebut, orang harus mengetahui sebab-sebab timbulnya nivarana dan berusaha menghindari sebab-sebab itu serta melakukan usaha-usaha yang dapat melenyapkan nivarana itu.

Nafsu-nafsu keinginan (kamachanda) akan timbul apabila orang berulang-ulang memperhatikan obyek yang indah, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk membebaskan diri dari nafsu keinginan, hendaknya orang senantiasa melaksanakan meditasi dengan memakai obyek yang kotor atau menjijikkan dan berusaha menghindari obyek-obyek yang bisa merangsang, berusaha untuk menguasai pikiran dan mengendalikan indriya-indriyanya, senantiasa berbicara tentang kesempurnaan hidup, tentang kepuasan, kesunyian, kebajikan, kebebasan, bebas dari nafsu-nafsu.

Kemauan jahat (byapada) akan timbul apabila orang berulang-ulang memperhatikan obyek yang menyebabkan timbulnya kebencian, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk menaklukkan kemauan jahat hendaknya orang senantiasa melaksanakan meditasi cinta kasih, senantiasa ingat bahwa setiap orang adalah pemilik dan pewaris dari perbuatannya sendiri.

Kemalasan dan kelelahan (thina-middha) akan timbul apabila orang berulang-ulang memperhatikan rasa segan, rasa malas, kelelahan, mengantuk sesudah makan, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk membebaskan diri dari kemalasan dan kelelahan, orang hendaknya senantiasa merenungkan suatu cahaya sampai terserap ke dalam batin, senantiasa melihat penderitaan di dalam ketidak-kekalan, senantiasa merenungkan ajaran-ajaran Sang Buddha dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.

Kegelisahan dan kekhawatiran (uddhacca-kukkucca) akan timbul apabila orang berulang-ulang memperhatikan ketidak-tenteraman pikiran, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk mengatasi kegelisahan dan kekhawatiran, orang hendaknya senantiasa mempelajari dan memahami kitab suci Tripitaka, serta berusaha melaksanakan sila dengan sempurna.
Keragu-raguan (vicikiccha) akan timbul apabila orang berulang-ulang memperhatikan sesuatu yang menyebabkan timbulnya keragu-raguan, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk membebaskan diri dari keragu-raguan, orang hendaknya senantiasa meneguhkan keyakinan pada Buddha, Dhamma, dan Sangha.

Sepuluh macam palibodha

Palibodha berarti gangguan dalam meditasi yang menyebabkan batin gelisah dan tidak mampu memusatkan pikiran pada obyek. Palibodha ini ada sepuluh macam, yaitu :
1. Avasa (tempat tinggal)
2. Kula (pembantu dan orang yang bertanggung jawab)
3. Labha (keuntungan)
4. Gana (murid dan teman)
5. Kamma (pekerjaan)
6. Addhana (perjalanan)
7. Ñati (orangtua, keluarga, dan saudara)
8. Abadha (penyakit)
9. Gantha (pelajaran)
10.Iddhi (kekuatan gaib)

Dalam melaksanakan meditasi, pada umumnya orang yang bermeditasi sering juga mendapat gangguan yang disebut palibodha. Ia merasa khawatir akan tempat tinggalnya, terikat dengan rumahnya. Ia merasa khawatir akan pembantunya dan orang yang bertanggung jawab atas harta bendanya. Ia merasa khawatir akan persoalannya, apakah meditasi ini akan membawa keuntungan baginya. Ia merasa khawatir akan murid-murid dan teman-temannya. Ia merasa khawatir akan pekerjaannya yang belum selesai. Ia merasa khawatir akan perjalanan jauh yang harus ditempuhnya. Ia merasa khawatir akan orang tuanya, keluarganya, dan saudara-saudaranya. Ia merasa khawatir akan kemungkinan timbulnya penyakit. Ia merasa khawatir akan pelajaran yang ditinggalkannya. Ia merasa khawatir akan bermacam-macam kekuatan magis yang dipertunjukkan, takut akan kemerosotan kekuatan magisnya.

Palibodha ini harus dibasmi, agar orang dapat memusatkan pikiran dengan baik.

3. ENAM MACAM CARITA

Carita berarti sifat, perangai, atau perilaku.

Di dalam Abhidhamma, terdapat pembagian sifat-sifat secara umum yang berdasarkan atas keadaan batin manusia, yaitu manusia itu dapat dibagi menjadi enam golongan berdasarkan sifat-sifat yang dimilikinya:
1. Orang yang keras nafsu lobanya atau Ragacarita
2. Orang yang keras kebenciannya atau Dosacarita
3. Orang yang bodoh (dungu) atau Mohacarita
4. Orang yang tebal keyakinannya atau Saddhacarita
5. Orang yang bijaksana (pandai) atau Buddhicarita
6. Orang yang suka melamun atau Vitakkacarita

Orang yang mempunyai ragacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan loba, cenderung ke arah keindahan dan kecantikan, kagum melihat suatu kebajikan walaupun itu kecil sekali, mudah melupakan kesalahan orang lain, cerdik, sombong, berambisi besar, mementingkan diri sendiri. Untuk mereka yang mempunyai ragacarita, maka obyek yang baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah sepuluh asubha dan satu kayagatasati.

Orang yang mempunyai dosacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan kebencian, cenderung ke arah panas hati, suka marah, suka jengkel, suka iri hati, tak senang melihat kesalahan walaupun kecil, tak mau tahu terhadap kebajikan orang lain walaupun besar, suka bermusuhan, memandang rendah orang lain, suka memerintah dan mendikte orang lain.

Untuk mereka yang mempunyai dosacarita, maka obyek yang baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah empat appamañña dan empat kasina (nila kasina, pita kasina, lohita kasina, dan odata kasina).

Orang yang mempunyai mohacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan kebodohan batin, cenderung ke arah kelemahan batin, suka bingung, suka ragu-ragu, suka khawatir, menggantungkan diri pada pendapat orang lain, pikiran ruwet, malas, pendiriannya tidak tetap, kadang-kadang kukuh memegang suatu pandangan. Untuk mereka yang mempunyai mohacarita, maka obyek yang baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah anapanasati.

Orang yang mempunyai saddhacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan keyakinan, cenderung ke arah rendah hati, dermawan, jujur, suka menemui orang-orang suci, suka mendengarkan Dhamma, yakin pada sesuatu yang dianggap baik. Untuk mereka yang mempunyai saddhacarita, maka obyek yang baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah enam anussati (Buddhanussati, Dhammanussati, Sanghanussati, silanussati, caganussati, dan devatanussati).

Orang yang mempunyai buddhicarita atau ñanacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan berhati-hati, cenderung ke arah perenungan terhadap Tiga Corak Umum (Tilakkhana), sering bermeditasi, bersedia mendengarkan omongan orang lain, mempunyai kawan-kawan yang baik. Untuk mereka yang mempunyai buddhicarita atau ñanacarita, maka obyek yang baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah marananussati, upasamanussati, aharapatikulasañña, dan catudhatuvavatthana.

Orang yang mempunyai vitakkavcarita melaksanakan sesuatu berdasarkan tergesa-gesa, cenderung ke arah kegugupan, kegagalan dalam usaha, suka berteori, pikirannya sering berkeliaran, tidak suka bekerja untuk kepentingan sosial. Untuk mereka yang mempunyai vitakkacarita, maka obyek yang cocok untuk melaksanakan Samatha Bhavana ialah anapanasati.

Penjelasan:

Pathavi kasina, apo kasina, tejo kasina, vayo kasina, aloka kasina, akasa kasina, dan empat arupa dapat dijadikan obyek meditasi oleh semua orang tanpa memperhatikan caritanya.

4. TIGA MACAM NIMITTA

Nimitta berarti suatu pertanda atau gambaran yang ada hubungannya dengan perkembangan obyek meditasi. Nimitta ini ada tiga macam, yaitu :
1. Parikamma-Nimitta (gambaran batin permulaan)
2. Uggaha-Nimitta (gambaran batin mencapai)
3. Patibhaga-Nimitta (gambaran batin berlawanan)

Mengenai parikamma-nimitta, gambaran suatu obyek yang diambil dalam meditasi, seperti patung Buddha, mula-mula dilihat dengan mata, kemudian dibayangkan dalam pikiran. Jadi, parikamma-nimitta merupakan gambaran atau bentuk dari obyek dalam keadaan yang sebenarnya. Semua obyek (empat puluh macam obyek meditasi) dapat menghasilkan parikamma-nimitta.

Mengenai uggaha-nimitta, gambaran suatu obyek yang diambil dalam meditasi dilihat dengan batin, hingga obyek itu melekat dalam pikiran. Jadi, uggaha-nimitta merupakan gambaran obyek di dalam batin yang sama dengan bentuk obyek yang dipakai, walaupun mata telah dipejamkan. Untuk mencapai uggaha-nimitta, semua obyek meditasi dapat dipakai dalam melaksanakan Samatha Bhavana, yaitu keempat puluh obyek meditasi yang tersebut terdahulu.

Mengenai patibhaga-nimitta, gambaran suatu obyek yang diambil dalam meditasi yang telah melekat pada pikiran, terpeta dengan nyata, tetap, jernih, jelas, terbebas dari gangguan, dan gambaran obyek tersebut dapat dibesarkan serta dikecilkan menurut kemauan. Jadi, patibhaga-nimitta merupakan gambaran pantulan dari obyek yang dipakai, yang bentuk gambaran itu berubah menjadi sinar terang di dalam batinnya. Untuk mencapai patibhaga-nimitta, maka obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah sepuluh kasina, sepuluh asubha, satu kayagatasati, dan satu anapanasati.

5. TIGA MACAM BHAVANA

Dalam meditasi, terdapat tiga macam tingkat perkembangan batin, yaitu :
1. Parikamma-Bhavana (perkembangan batin tingkat pendahuluan)
2. Upacara-Bhavana (perkembangan batin tingkat mendekati konsentrasi)
3. Appana-Bhavana (perkembangan batin tingkat terkonsentrasi dengan kuat)

Dalam parikamma-bhavana, pikiran baru akan dipusatkan pada obyek. Semua obyek (empat puluh macam obyek meditasi) dapat menghasilkan parikamma-bhavana.

Dalam upacara-bhavana, pikiran telah siap untuk memasuki pemusatannya, dan mulai timbulnya patibhaga-nimitta. Dalam keadaan ini, nivarana telah dapat diatasi. Namun konsentrasi pikiran masih belum mantap. Hal ini dapat disamakan dengan anak kecil yang baru belajar berdiri, namun masih belum mantap, sering jatuh, tetapi ia terus berusaha.

Untuk mencapai upacara-bhavana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah delapan anussati (Buddhanussati, Dhammanussati, Sanghanussati, silanussati, caganussati, devatanussati, marananussati, upasamanussati), satu aharapatikulasanna, dan satu catudhatuvavatthana.

Dalam appana-bhavana, pikiran telah dapat tinggal diam dalam jangka waktu yang lama, menurut yang dikehendakinya, karena konsentrasi yang penuh dan mantap telah tercapai. Keadaan ini dapat diumpamakan sebagai orang yang telah dewasa yang telah dapat berdiri dengan kuat, tak jatuh-jatuh lagi. Di samping nivarana telah dapat diatasi, maka faktor-faktor jhana juga mulai timbul berperanan (vitakka, vicara, piti, sukha, dan ekaggata). Obyek-obyek yang dapat dipakai untuk mencapai appana-bhavana ialah sepuluh kasina, sepuluh asubha, satu kayagatasati, satu anapanasati, empat appamañña, dan empat arupa.

6. PENGERTIAN JHANA

Jhana berarti kesadaran/pikiran yang memusat dan melekat kuat pada obyek kammatthana/meditasi, yaitu kesadaran/pikiran terkonsentrasi pada obyek dengan kekuatan appana-samadhi (konsentrasi yang mantap, yaitu kesadaran/pikiran terkonsentrasi pada obyek yang kuat).

Jhana merupakan keadaan batin yang sudah di luar aktivitas panca indera. Keadaan ini hanya dapat dicapai dengan usaha yang ulet dan tekun. Dalam keadaan ini, aktivitas panca indera berhenti, tidak muncul kesan-kesan penglihatan maupun pendengaran, pun tidak muncul perasaan badan jasmani. Walaupun kesan-kesan dari luar telah berhenti, batin masih tetap aktif dan berjaga secara sempurna serta sadar sepenuhnya.

Jhana hanya mampu menekan atau mengendapkan kekotoran batin untuk sementara waktu. Ia tidak dapat melenyapkan kekotoran batin. Sewaktu-waktu jhana dapat merosot, karena jhana tidak kekal.

7. FAKTOR-FAKTOR JHANA

Di dalam memasuki jhana-jhana, timbullah faktor-faktor jhana yang memberi corak dan suasana bagi tiap-tiap jhana itu. Faktor-faktor jhana tersebut ada lima macam, yaitu :

1. Vitakka, ialah penopang pikiran yang merupakan perenungan permulaan untuk memegang obyek.
2. Vicara, ialah gema pikiran, keadaan pikiran dalam memegang obyek dengan kuat.
3. Piti, ialah kegiuran atau kenikmatan.
4. Sukha, ialah kebahagiaan yang tak terhingga.
5. Ekaggata, ialah pemusatan pikiran yang kuat.

Vitakka dan vicara adalah dua keadaan dari suatu proses yang berkelanjutan. Kedua keadaan ini dapat diumpamakan seperti bunyi lonceng. Pada waktu lonceng dipukul sekali, maka akan terjadi bunyi yang bergema. Bunyi lonceng pada saat terkena pukulan merupakan vitakka, sedangkan gema dari bunyi lonceng itu merupakan vicara. Demikian pula ketika bermeditasi. Suasana pikiran pada saat permulaan memegang obyek disebut vitakka, sedangkan suasana pikiran yang telah berhasil memegang obyek dengan kuat disebut vicara.

Mengenai piti, sebenarnya secara terperinci terdapat lima macam. Namun, kiranya di sini tidak begitu perlu diuraikan.

Antara piti dan sukha terdapat pula perbedaan perasaan yang khas seperti berikut. Apabila seseorang yang sedang dalam suatu perjalanan merasa sangat haus, dan kemudian ia menemukan sebuah sumber air, maka ia akan merasa gembira, senang, dan tergiur melihatnya. Perasaan ini merupakan piti, karena di sini kegiuran timbul akibat keterbatasan dari tekanan perasaan. Selanjutnya, setelah ia meminum air itu, maka perasaan berobah menjadi nikmat dan segar. Perasaan ini merupakan sukha.

Dalam ekaggata, pikiran telah terpusat pada obyek dengan kuat, sehingga kekotoran batin tidak mampu mengganggu lagi.

Vikkhambhana-Pahana adalah pembasmian nivarana dengan kekuatan jhana, yaitu dengan mengendapkan kekotoran batin. Selama jhana masih ada, selama itu pula nivarana tidak timbul. Tetapi, bila jhana merosot, maka nivarana akan timbul lagi.

Jhana merupakan alat pembasmi nivarana, yaitu vitakka membasmi thina-middha, vicara membasmi vicikiccha, piti membasmi byapada, sukha membasmi uddhacca-kukkucca, dan ekaggata membasmi kamachanda.

8. TINGKAT-TINGKAT JHANA

Menurut Sutta Pitaka, terdapat delapan tingkat jhana, yaitu empat rupa jhana dan empat arupa jhana, sedangkan menurut Abhidhamma, terdapat sembilan tingkat jhana, yaitu lima rupa jhana dan empat arupa jhana. Dalam Abhidhamma, tingkatan rupa jhana ada lima, karena hal ini disesuaikan menurut keadaan, menurut bagian, dan jumlah kesadaran yang berada dalam rupavacara-citta, sebab kesadaran dari manda-puggala (orang yang tidak cerdas) tidak dapat melihat kekotoran dari vitakka dan vicara kedua-duanya ini sekaligus dalam waktu yang sama, hanya dapat membuang 'keadaan batin' satu persatu, yaitu dutiya-jhana membuang vitakka, dan tatiya-jhana membuang vicara. Tetapi, tikkha-puggala (orang yang cerdas) mampu menyelidiki dan melihat kekotoran dari vitakka dan vicara sekaligus dalam waktu yang sama, dan membuang vitakka dan vicara sekaligus. Karena itu, dalam Sutta Pitaka, tingkatan rupa jhana ada empat.

Tingkatan jhana, menurut Abhidhamma, terdiri atas :

1. Pathama-Jhana, ialah jhana tingkat pertama.
Keadaan batinnya terdiri dari lima corak, yaitu vitakka, vicara, piti, sukha, dan ekaggata.

2. Dutiya-Jhana, ialah jhana tingkat kedua.
Keadaan batinnya terdiri dari empat corak, yaitu vicara, piti, sukha, dan ekaggata.

3. Tatiya-Jhana, ialah jhana tingkat ketiga.
Keadaan batinnya terdiri dari tiga corak, yaitu, piti, sukha, dan ekaggata.

4. Catuttha-Jhana, ialah jhana tingkat keempat.
Keadaan batinnya terdiri dari dua corak, yaitu sukha dan ekaggata.

5. Pancama-Jhana, ialah jhana tingkat kelima.
Keadaan batinnya terdiri dari dua corak, yaitu upekkha dan ekaggata.

6. Akasanancayatana-Jhana, ialah keadaan dari konsepsi ruangan yang tanpa batas.

7. Viññanancayatana-Jhana, ialah keadaan dari konsepsi kesadaran yang tak terbatas.

8. Akincaññayatana-Jhana, ialah keadaan dari konsepsi kekosongan.

9. Nevasaññanasaññayatana-Jhana, ialah keadaan dari konsepsi bukan pencerapan pun tidak bukan pencerapan.

Tingkatan jhana, menurut Sutta Pitaka, terdiri atas :

1. Pathama-Jhana, ialah jhana tingkat pertama, dimana nivarana telah dapat diatasi dengan seksama. Faktor-faktor jhana yang timbul adalah vitakka, vicara, piti, sukha, dan ekaggata.

2. Dutiya-Jhana, ialah jhana tingkat kedua, dimana vitakka dan vicara mulai lenyap, karena kedua faktor ini bersifat kasar untuk jhana kedua. Faktor-faktor jhana yang masih ada adalah piti, sukha, dan ekaggata.

3. Tatiya-Jhana, ialah jhana tingkat ketiga, dimana piti mulai lenyap, karena piti ini masih terasa kasar untuk jhana ketiga. Faktor-faktor jhana yang masih ada adalah sukha dan ekaggata.

4. Catuttha-Jhana, ialah jhana tingkat keempat, dimana sukha mulai lenyap, karena faktor ini masih terasa kasar untuk jhana keempat. Di dalam jhana keempat ini hanya ada faktor ekaggata dan ditambah dengan upekkha (keseimbangan batin).

5. Akasanancayatana-Jhana.

6. Viññanancayatana-Jhana.

7. Akincaññayatana-Jhana.

8. Nevasaññanasaññayatana-Jhana.

Untuk mencapai pathama-jhana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah sepuluh asubha dan satu kayagatasati.

Untuk mencapai dutiya-jhana, tatiya-jhana, dan catuttha-jhana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah tiga appamañña (metta, karuna, dan mudita).
Untuk mencapai pancama-jhana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah satu upekkha.

Untuk mencapai empat arupa jhana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah empat arupa.

Penjelasan :
Sepuluh kasina dan satu anapanasati dapat dijasikan obyek meditasi oleh semua orang untuk mencapai lima rupa jhana.

9. LIMA MACAM VASI

Vasi berarti keahlian atau kemahiran atau kemampuan untuk mengolah jhana.

Jika seseorang telah mencapai jhana tingkat pertama (pathama-jhana), kemudian ia ingin mencapai jhana-jhana tingkat selanjutnya, maka ia harus mempunyai lima macam vasi.
Kelima macam vasi tersebut ialah :

1. Avajjana-vasi, yaitu keahlian dalam pemikiran untuk memasuki jhana menurut kehendaknya.

2. Samapajjana-vasi, yaitu keahlian dalam memasuki jhana.

3. Adhitthana-vasi, yaitu keahlian dalam menentukan berapa lama hendak berada dalam jhana.

4. Vutthana-vasi, yaitu keahlian dalam 'keluar' dari jhana.

5. Paccavekkhana-vasi, yaitu keahlian dalam meninjauan terhadap jhana.

10. ENAM MACAM ABHIÑÑA

Abhiñña berarti kemampuan atau kekuatan batin yang luar biasa, atau tenaga batin.

Abhiñña akan timbul dalam diri orang yang telah mencapai jhana-jhana, dimana jhana tingkat keempat (catuttha-jhana) merupakan dasar untuk timbulnya abhiñña ini. Namun, hal ini juga tergantung pada kusala-kamma (perbuatan baik) dari kehidupan yang lampau. Mengenai obyek meditasi yang dapat menimbulkan abhiñña ialah hanya sepuluh kasina.

Abhiñña itu ada enam macam dan dapat dibagi atas dua kelompok besar, yaitu abhiñña yang duniawi atau lokiya dan abhiñña yang di atas duniawi atau lokuttara.

Abhiñña yang duniawi (lokiya-abhiñña) terdiri atas lima macam, yaitu :

1. Iddhividhañana, sering disebut sebagai kekuatan gaib atau kekuatan magis atau kesaktian. Ini terbagi lagi atas beberapa macam, yaitu :
a. Adhitthana-iddhi, ialah kemampuan untuk mengubah diri dari satu menjadi banyak atau dari banyak menjadi satu.
b. Vikubbana-iddhi, ialah kemampuan untuk berubah bentuk, seperti menjadi anak kecil, raksasa, ular, atau membuat diri menjadi tak tampak.
c. Manomaya-iddhi, ialah kemampuan mencipta dengan menggunakan pikiran, seperti menciptakan istana, taman, harimau, wanita cantik, dan lain-lain.
d. Ñanavipphara-iddhi, ialah kemampuan untuk menembus ajaran melalui pengetahuan.
e. Samadhivipphara-iddhi, ialah kemampuan memencarkan melalui konsentrasi, yaitu :
Kemampuan menembus dinding, pagar, gunung.
Kemampuan menyelam ke dalam bumi bagaikan menyelam ke dalam air.
Kemampuan berjalan di atas air bagaikan berjalan di atas tanah yang padat.
Kemampuan terbang di angkasa seperti burung.
Kemampuan melawan api.
Kemampuan menyentuk bulan dan matahari dengan tangannya.
Kemampuan memanjat puncak dunia sampai ke alam Brahma.

2. Dibbasotañana (telinga dewa), ialah kemampuan untuk mendengar suara-suara dari alam lain, yang jauh maupun yang dekat.

3. Cetopariyañana atau paracittavijañana, ialah kemampuan untuk membaca pikiran makhluk lain.

4. Dibbacakkhuñana atau cutupapatañana (mata dewa), ialah kemampuan untuk melihat alam-alam halus dan muncul lenyapnya makhluk-makhluk yang bertumimbal lahir sesuai dengan karmanya masing-masing.

5. Pubbenivasanussatiñana, ialah kemampuan untuk mengingat tumimbal lahir yang lampau dari diri sendiri dan orang lain.

Abhiñña yang di atas duniawi (lokuttara-abhiñña) hanya ada satu macam, yaitu asavakkhayañana, ialah kemampuan untuk memusnahkan kekotoran batin. Pemusnahan kekotoran batin ini akan membimbing ke arah kesucian tertinggi atau arahat.

Perlu diingat bahwa tujuan umat Buddha bukanlah untuk mendapatkan kegaiban dan mujijat yang aneh-aneh dan luar biasa. Sang Buddha tidak membenarkan siswa-siswaNya melakukan sesuatu yang ajaib dan mujijat, karena perbuatan demikian itu tidak akan mempertinggi martabat mereka di mata orang lain. Lagipula kegaiban itu bukanlah merupakan hal yang penting dalam mencari kebebasan (Nibbana).

Vipassana Bhavana

1. EMPAT MACAM SATIPATTHANA

Dalam melaksanakan Vipassana Bhavana, obyeknya adalah nama dan rupa (batin dan materi), atau pancakhandha (lima kelompok faktor kehidupan). Ini dilakukan dengan memperhatikan gerak-gerik nama dan rupa terus menerus, sehingga dapat melihat dengan nyata bahwa nama dan rupa itu dicengkeram oleh anicca (ketidak-kekalan), dukkha (derita), dan anatta (tanpa aku).

Pancakkhandha (lima kelompok faktor kehidupan) terdiri atas :
rupa-khandha (kelompok jasmani), vedana-khandha (kelompok perasaan), sañña-khandha (kelompok pencerapan), sankhara-khandha (kelompok bentuk pikiran), dan viññana-khandha (kelompok kesadaran). Sesungguhnya, yang disebut pancakkhandha itu adalah makhluk.

Empat macam satipatthana (empat macam perenungan) terdiri atas :
kaya-nupassana (perenungan terhadap badan jasmani), vedana-nupassana (perenungan terhadap perasaan), citta-nupassana (perenungan terhadap pikiran), dan Dhamma-nupassana (perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran).

Empat macam satipatthana itu adalah pancakkhandha, atau nama dan rupa itu sendiri. Kaya nupassana adalah rupa-khandha. Vedana-nupassana adalah vedana-khandha. Citta-nupassana adalah Viññana-khandha. Dhamma-nupassana adalah pancakkhandha.

Sesungguhnya, yang akan berkembang dalam latihan Vipassana itu ialah perhatian yang tajam dan kesadaran yang kuat.

1. Kaya-nupassana (perenungan terhadap badan jasmani).
Salah satu contoh yang paling populer dan praktis tentang meditasi dengan obyek badan jasmani ialah anapanasati (menyadari keluar dan masuknya napas). Dalam anapanasati ini, tidak ada tekanan atau paksaan pada pernapasan. Panjang atau pendeknya pernapasan harus disadari, tetapi tidak dibuat-buat atau sengaja diatur. Jadi, bernapas secara biasa dan wajar.

Walaupun menurut kebiasaan , kesadaran terhadap pernapasan itu pada tingkat permulaan dianggap sebagai obyek untuk meditasi ketenangan (Samatha Bhavana), yaitu untuk mengembangkan jhana-jhana, ia juga sangat berguna untuk mengembangkan Pandangan Terang (Vipassana Bhavana). Dalam pernapasan, yang dipakai sebagai suatu obyek perhatian murni, naik turunnya gelombang kehidupan yang tidak kekal, yang timbul tenggelam ini, dapat disadari dengan mudah.

Cara meditasi lain yang penting, praktis, dan berguna ialah sadar dan waspada terhadap segala sesuatu yang dilakukan, ketika berjalan, berdiri, duduk, atau berbaring, sewaktu membungkukkan dan melencangkan badan, sewaktu melihat ke muka dan ke belakang, ketika berpakaian, makan, dan minum, ketika buang kotoran dan kencing, ketika berbicara atau berdiam diri.

Di sini tidak dijalankan penyiksaan badan jasmani dengan maksud untuk mengendalikan badan. Tetapi dipergunakan jalan tengah yang sederhana, dengan menyadari timbul dan tenggelamnya bentuk kehidupan setiap saat.

2. Vedana-nupassana (perenungan terhadap perasaan).
Di sini direnungkan perasaan yang sedang dialami secara obyektif, baik perasaan senang, perasaan tidak senang, maupun perasaan yang acuh tak acuh. Direnungkan keadaan perasaan yang sebenarnya, bagaimana ia timbul, berlangsung, dan kemudian lenyap kembali.

Perasaan harus dikendalikan oleh akal dan kebijaksanaan, agar perasaan itu tidak membangkitkan bermacam-macam bentuk emosi. Apabila perasaan telah dapat diatasi dengan tepat, maka batin menjadi bebas, tidak terikat oleh apapun di dalam dunia ini.

3. Citta-nupassana (perenungan terhadap pikiran).
Di sini direnungkan segala gerak-gerik pikiran. Apabila pikiran sedang dihinggapi hawa nafsu atau terbebas daripadanya, maka hal itu harus disadari.

Pikiran harus diarahkan pada kenyataan hidup pada saat ini. Masalah-masalah yang telah lewat atau hal-hal yang akan datang tidak boleh dipikirkan pada saat ini. Betapa banyak tenaga yang terbuang dengan percuma karena melamunkan keadaan-keadaan yang telah lalu dan mengkhayalkan keadaan yang akan datang. Jadi, keadaan pikiran yang sebenarnya harus diamat-amati, agar batin menjadi bebas dan tidak terikat.

4. Dhamma-nupassana (perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran).
Di sini direnungkan bentuk-bentuk pikiran dengan sewajarnya, direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari lima macam rintangan (nivarana), direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari lima kelompok faktor kehidupan (pancakkhandha), direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari enam landasan indriya dalam dan luar (dua belas ayatana), direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari tujuh faktor Penerangan Agung (Satta Bojjhanga), dan direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari Empat Kesunyataan Mulia (Cattari Ariya Saccani).

Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari lima macam rintangan (nivarana) ialah bahwa apabila di dalam diri orang yang bermeditasi timbul nafsu keinginan, kemauan jahat, kemalasan dan kelelahan, kegelisahan dan kekhawatiran, atau keragu-raguan, maka hal itu harus disadari. Demikian pula apabila nivarana itu tidak ada di dalam dirinya, maka hal itu pun harus disadari. Ia tahu bagaimana bentuk-bentuk pikiran itu datang dan timbul. Ia tahu bagaimana sekali timbul, bentuk-bentuk pikiran itu ditaklukkan. Ia tahu bahwa sekali ditaklukkan, bentuk-bentuk pikiran itu tidak akan timbul lagi kemudian.

Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari lima kelompok faktor kehidupan (pancakkhandha) ialah dengan menyadari bahwa inilah bentuk jasmani, inilah perasaan, inilah pencerapan, inilah bentuk pikiran, inilah kesadaran. Ia tahu bagaimana caranya timbul dan bagaimana caranya lenyap.

Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari enam landasan indriya dalam dan luar (dua bleas ayatana) ialah dengan menyadari bahwa inilah mata dan obyek bentuk, inilah telinga dan obyek suara, inilah hidung dan obyek bau, inilah lidah dan obyek kecapan, inilah badan dan obyek sentuhan, inilah pikiran dan obyek pikiran. Ia tahu akan belenggu-belenggu yang timbul dalam hubungan dengan semua itu. Ia tahu bagaimana cara menaklukkan belenggu-belenggu itu. Ia tahu bagaimana caranya supaya belenggu yang telah dibuang itu tidak timbul lagi kemudian.

Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari tujuh faktor Penerangan Agung (Satta Bojjhanga) ialah apabila di dalam diri orang yang bermeditasi timbul kesadaran (sati), penyelidikan Dhamma yang mendalam (Dhamma-Vicaya), tenaga (viriya), kegiuran (piti), ketenangan (passadhi), pemusatan pikiran (samadhi), atau keseimbangan (upekkha), maka hal itu harus disadari. Ia tahu bilamana keadaan-keadaan ini tidak ada di dalam dirinya. Ia tahu bagaimana cara timbulnya, dan bagaimana cara mengembangkannya dengan sempurna.

Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari Empat Kesunyataan Mulia (Cattari Ariya Saccani) ialah dengan menyadari berdasarkan kesunyataan bahwa inilah penderitaan, inilah asal mula dari penderitaan, inilah pemadaman dari penderitaan, inilah jalan menuju pemadaman dari penderitaan. Ia merenungkan masalah-masalah yang timbul dan hancur dari bentuk-bentuk pikiran. Akhirnya, ia hidup bebas tanpa ikatan dalam dunia ini.

2. SEPULUH MACAM VIPASSANUPAKILESA

Vipassanupakilesa berarti kekotoran batin atau rintangan yang menghambat perkembangan Pandangan Terang, di dalam melaksanakan Vipassana Bhavana.

Vipassanupakilesa ini ada sepuluh macam, yaitu :

1. Obhasa, ialah sinar-sinar yang gemerlapan, yang bentuk dan keadaannya bermacam-macam, yang kadang-kadang merupakan pemandangan yang menyenangkan.

2. Piti, ialah kegiuran, yang merupakan perasaan yang nyaman dan nikmat. Piti ini ada lima macam menurut keadaannya, yaitu :
a. Khudaka Piti, ialah kegiuran yang kecil, yang suasananya seperti bulu badan yang terangkat atau merinding.
b. Khanika Piti, ialah kegiuran yang sepintas lalu menggerakkan badan.
c. Okkantika Piti, ialah kegiuran yang menyeluruh, yang suasananya meriang di seluruh badan, seperti ombak laut memecah di pantai.
d. Ubbonga Piti, ialah kegiuran yang mengangkat, yang suasananya seolah-olah mengangkat badan naik ke udara.
e. Pharana Piti, ialah kegiuran yang menyerap seluruh badan, yang suasananya seluruh badan seperti terserap oleh perasaan yang menakjubkan.

3. Passadi, ialah ketenangan batin, yang seolah-olah orang telah mencapai penerangan sejati.

4. Sukha, ialah perasaan yang berbahagia, yang seolah-olah orang telah bebas dari penderitaan.

5. Saddha, ialah keyakinan yang kuat dan harapan agar setiap orang juga seperti dirinya.

6. Paggaha, ialah usaha yang terlalu giat, yang lebih daripada semestinya.

7. Upatthana, ialah ingatan yang tajam, yang sering timbul dan mengganggu perkembangan kesadaran, karena tidak memperhatikan saat yang sekarang ini.

8. Ñana, ialah pengetahuan yang sering timbul dan mengganggu jalannya praktek meditasi.

9. Upekkha, ialah keseimbangan batin, dimana pikiran tidak mau bergerak untuk menyadari proses-proses yang timbul

10. Nikanti, ialah perasaan puas terhadap obyek-obyek.
Sepuluh macam vipassanupakilesa ini biasanya timbul dalam perkembangan Sammasana-Ñana, yaitu ñana yang ketiga.

3. EMPAT MACAM VIPALLASA-DHAMMA

Vipallasa-Dhamma berarti kekhayalan, atau kepalsuan, atau kekeliruan yang berkenaan dengan paham yang menganggap suatu kebenaran sebagai suatu kesalahan dan kesalahan sebagai suatu kebenaran. Vipallasa-Dhamma ini ada empat macam dan dapat dibasmi dengan melaksanakan empat macam Satipatthana.
Keempat macam Vipallasa-Dhamma itu ialah :

1. Subha-Vipallasa, yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan pandangan, yang menganggap sesuatu yang tidak cantik sebagai cantik. Subha-Vipallasa ini dapat dibasmi dengan melaksanakan kaya-nupassana.

2. Sukha-Vipallasa, yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan pandangan, yang menganggap sesuatu yang derita sebagai bahagia. Sukha_Vipallasa ini dapat dibasmi dengan melaksanakan vedana-nupassana.

3. Nicca-Vipallasa, yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan pandangan, yang menganggap sesuatu yang tidak kekal sebagai kekal. Nicca-Vipallasa ini dapat dibasmi dengan melaksanakan citta-nupassana.

4. Atta-Vipallasa, yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan pandangan, yang menganggap sesuatu yang tanpa aku sebagai aku. Atta-Vipallasa ini dapat dibasmi dengan melaksanakan Dhamma-nupassana.

4. ENAM BELAS MACAM ÑANA

Ñana berarti pengetahuan. Apabila orang tekun melaksanakan Vipassana Bhavana, maka akan berkembanglah ñana di dalam dirinya. Ñana itu ada enam belas macam, yaitu :

1. Nama-Rupa Pariccheda Ñana, ialah pengetahuan mengenai perbedaan nama (batin) dan rupa (materi).

2. Paccaya Pariggaha Ñana, ialah pengetahuan mengenai hubungan sebab dan akibat dari nama dan rupa.

3. Sammasana Ñana, ialah pengetahuan yang menunjukkan nama dan rupa sebagai Tilakkhana (Tiga Corak Umum), yaitu anicca (ketidak-kekalan), dukkha (derita), anatta (tanpa aku).

4. Udayabbaya Ñana, ialah pengetahuan mengenai timbul dan lenyapnya nama dan rupa.

5. Bhanga Ñana, ialah pengetahuan mengenai peleburan/pelenyapan nama dan rupa.

6. Bhaya Ñana, ialah pengetahuan mengenai ketakutan yang berkenaan dengan sifat nama dan rupa.

7. Adinava Ñana, ialah pengetahuan mengenai kesedihan yang berkenaan dengan sifat nama dan rupa.

8. Nibbida Ñana, ialah pengetahuan mengenai keengganan yang berkenaan dengan sifat nama dan rupa.

9. Muncitukamyata Ñana, ialah pengetahuan mengenai keinginan untuk mencapai kebebasan.

10.Patisankha Ñana, ialah pengetahuan mengenai penglihatan akan jalan yang menuju kebebasan, yang menimbulkan keputusan untuk berlatih terus dengan bersemangat.

11.Sankharupekkha Ñana, ialah pengetahuan mengenai keseimbangan tentang semua bentuk-bentuk kehidupan.

12.Anuloma Ñana, ialah pengetahuan mengenai penyesuaian diri dengan Ariya-Sacca (Empat Kesunyataan Mulia), sebagai persiapan untuk memasuki magga (Jalan), mencapai phala (hasil) dari magga itu, dan mendekati Nirvana, dengan melalui anicca, dukkha, dan anatta.

13.Gotrabhu Ñana, ialah pengetahuan mengenai pemotongan atau pemutusan keadaan duniawi, dan Nirvana sebagai obyek dari pikiran.

14.Magga Ñana, ialah pengetahuan mengenai penembusan terhadap magga, dimana kilesa atau kekotoran batin telah dilenyapkan.

15.Phala Ñana, ialah pengetahuan mengenai pembabaran phala yang merupakan hasil dari penembusan terhadap magga, dan Nirvana sebagai obyek batinnya.

16.Paccavekkhana Ñana, ialah pengetahuan mengenai peninjauan terhadap sisa-sisa kilesa atau kekotoran batin yang masih ada.

Enam belas macam ñana tersebut di atas diuraikan agak terperinci seperti di bawah ini.

1. Nama-Rupa Pariccheda Ñana
Dengan memiliki ñana ini, seseorang dapat membedakan nama dari rupa dan rupa dari nama. Umpamanya, dalam melaksanakan Vipassana Bhavana, naik dan turunnya rongga perut ketika bernapas adalah rupa, sedangkan pikiran yang mengetahui proses itu adalah nama. Gerakan kaki ketika berjalan adalah rupa, sedangkan kesadaran terhadapa hal itu adalah nama.

Mengenai membedakan nama dan rupa yang berkenaan dengan panca-indera, dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Dalam melihat bentuk atau warna, bentuk atau warna itu adalah rupa, dan kesadaran terhadap hal itu adalah nama.
b. Dalam mendengar bunyi, bunyi itu adalah rupa, dan kesadaran terhadap hal itu adalah nama.
c. Dalam mencium bau, bau itu adalah rupa, dan kesadaran terhadap hal itu adalah nama.
d. Dalam mencicipi sesuatu, rasa itu adalah rupa, dan kesadaran terhadap hal itu adalah nama.
e. Dalam menyentuh suatu benda yang dingin, panas, keras, atau lunak, benda itu adalah rupa, dan kesadaran terhadap hal itu adalah nama.

Jadi, kesimpulannya ialah bahwa seluruh badan ini adalah rupa, dan pikiran adalah nama. Yang ada hanya rupa dan nama. Tak ada sesuatu yang disebut makhluk, tak ada pribadi, aku, dia, dan lain-lainnya.

2. Paccaya Pariggaha Ñana
Dalam beberapa hal, rupa merupakan sebab, dan nama merupakan akibat. Jadi, kalau rongga perut naik, maka kesadaran akan mengikutinya. Namun, dalam hal lain, nama merupakan sebab, dan rupa merupakan akibat. Jadi, kalau pikiran bergerak, maka gerak jasmani akan mengikutinya. Keinginan duduk merupakan sebab, dan duduk adalah akibatnya.

Rongga perut mungkin naik, tetapi tidak ada turun. Rongga perut mungkin turun dengan keras dan tinggal diam dalam keadaan itu. Naik turunnya rongga perut hilang, tetapi kalau dirasakan dengan tangan, proses itu masih tetap ada.

Sewaktu-waktu ada perasaan yang sangat tertekan dan kadang-kadang agak kurang, atau merasa diri tidak berhasil. Sering diganggu oleh pemandangan atau khayalan, seperti binatang liar, gunung-gunung, dan lain-lain.

Naik turunnya perut dan bekerjanya proses kesadaran itu berlangsung dengan teratur. Kadang-kadang orang dapat terkejut, bergoyang ke muka atau ke belakang. Akhirnya, orang dapat merasakan bahwa kehidupan yang lampau, yang sekarang, dan yang akan datang hanya terbentuk dari rangkaian sebab dan akibat, dan hanya terdiri atas nama dan rupa.

3. Sammasana Ñana
Dengan memiliki ñana ini, seseorang dapat merasakan nama dan rupa melalui panca-indera sebagai Tilakkhana (Tiga Corak Umum), yaitu, Anicca (ketidak-kekalan), Dukkha (derita), dan Anatta (tanpa aku).

Gerak naiknya perut dan gerak turunnya perut ada tiga bagian, yaitu upada (terjadi), thiti (berlangsung), dan bhanga (lenyap). Naik turunnya perut dapat lenyap sebentar atau dalam waktu yang lama. Pernapasan dapat berlangsung cepat, pelan, halus, atau tertahan.

Timbul perasaan tertekan, yang hanya dapat lenyap setelah disadari beberapa kali dengan perlahan-lahan. Pikiran menjadi kacau, yang memperlihatkan adanya kesadaran terhadap Tilakkhana itu.

4. Udayabbaya Ñana
Dengan memiliki ñana ini, seseorang dapat menyadari bahwa gerakan naik turunnya perut itu terdiri atas dua, tiga, empat, lima, atau enam tingkat.

Naik dan turunnya perut lenyap berselang-seling. Berbagai perasaan lenyap setelah disadari beberapa kali. Terlihat cahaya yang terang, seperti lampu listrik.

Permulaan dan pengakhiran dari gerakan naik turunnya perut lebih terasa. Akhirnya, orang akan merasakan bahwa ketika pernapasan berhenti pada waktu beristirahat yang berulang-ulang, badan seperti jatuh ke dalam jurang yang sangat dalam, atau terbang dengan pesawat terbang, atau naik dengan lift, tetapi sebenarnya badan masih tetap diam dan tak bergerak.

5. Bhanga Ñana
Pengakhiran dari gerak naik turunnya perut lebih terasa. Naik turunnya perut terasa samar-samar, terasa lenyap, dan kadang-kadang terasa tidak ada apa-apa.

Gerakan naik turun dan kesadaran/pikiran (citta) terasa seolah-olah lenyap. Pertama-tama, rupa (materi/jasmani) yang mengendap, tetapi citta masih bergema. Kemudian, gerakan naik turun segera lenyap, demikian pula kesadarannya. Jadi, citta dan obyeknya lenyap bersama-sama.

Terasa panas seluruh badan. Terasa diri seperti ditutupi dengan jaring. Segala sesuatu kelihatannya seolah-olah dalam suasana yang penuh kesuraman, sangat kabur, dan remang-remang. Kalau melihat pada langit, seolah-olah ada getaran-getaran di udara. Gerakan naik dan turun sekonyong-konyong berhenti dan sekonyong-konyong timbul lagi.

6. Bhaya Ñana
Timbul perasaan takut, tetapi tidak seperti takut ketika melihat hantu atau setan. Tidak merasa bahagia, senang, gembira, atau nikmat. Terasa sakit pada urat-urat syaraf, terutama pada waktu berjalan atau berdiri.

Terdapat bahaya dari perubahan-perubahan yang terus menerus di dalam semua bentuk kehidupan. Semua bagian dari benda-benda ini menakutkan. Nama dan rupa yang dianggap sebagai sesuatu yang bagus atau indah, sebenarnya tidak mempunyai inti-sari, dan kosong sama sekali. Setelah nama dan rupa lenyap, tidak ada lagi yang menimbulkan rasa takut.

7. Adinava Ñana
Gerakan naik turun menghilang sedikit demi sedikit, dan kelihatannya hanya samar-samar dan suram. Nama dan rupa muncul dengan cepatnya, tetapi dapat juga disadari.

Diri terasa buruk, jelek, dan membosankan. Semua bentuk batin dan fisik menyedihkan.

8. Nibbida Ñana
Semua obyek kelihatan membosankan dan jelek. Terasa seperti malas, tetapi kemampuan untuk mengenal atau menyadari sesuatu masih berjalan dengan baik. Tak ada keinginan untuk bertemu atau bercakap-cakap dengan orang lain, dan lebih senang tinggal di kamar sendiri saja.

Orang merasa bahwa keinginan-keinginan atau cita-citanya yang dahulu, seperti kemasyhuran, kemewahan, kemegahan, dan lain-lainnya tidak lagi merupakan kesenangan dan kegembiraan, bahkan berubah menjadi kebosanan setelah menyadari sendiri bahwa manusia itu tercengkeram dan terseret ke dalam kelapukan. Semua manusia dan makhluk lain, bahkan para dewa dan para brahma tidak ada yang terkecuali semasih diliputi oleh bentuk-bentuk ini, di mana masih ada kelahiran, usia tua, sakit, dan kematian, dan tidak terdapat perasaan kenikmatan yang sejati. Kebosanan timbul sebagai dorongan yang keras untuk mencari Nibbana.

9. Muncitukamyata Ñana
Seluruh badan merasa gatal, seperti digigit-gigit semut, atau seperti ada binatang kecil yang merayap pada muka dan badan. Terasa kurang senang, gelisah dan bosan. Ada keinginan pergi dan menghentikan latihan meditasinya. Ada pula yang ingin pulang karena merasa bahwa paramitanya atau perbuatan-perbuatan baiknya belum cukup kuat.

10.Patisankha Ñana
Terasa ditusuk-tusuk di bawah kulit dengan benda-benda tajam di seluruh badan. Timbul bermacam-macam perasaan yang mengganggu, tetapi setelah disadari dua atau tiga kali, semua itu menjadi lenyap. Terasa mengantuk. Badan menjadi kaku, tetapi pikiran masih aktif dan pendengaran masih bekerja. Badan terasa seperti ditindih batu atau kayu. Seluruh badan terasa panas. Muncul perasaan tak senang.

11.Sankharupekkha Ñana
Tidak ada perasaan takut, tidak ada perasaan senang, tetapi agak seperti acuh tak acuh. Naik turunnya perut hanya disadari sebagai nama dan rupa saja. Tidak ada perasaan gembira atau perasaan sedih, tetapi pikiran dan kesadaran pada saat itu tetap terang.

Ingatan, pengenalan, atau kesadaran tidak mengalami kesukaran-kesukaran.Konsentrasi pikiran berjalan baik, tetap tenang dan halus dalam jangka waktu yang lama, seperti sebuah mobil yang berjalan di atas jalan yang datar dan rata. Ada perasaan puas dan mungkin lupa dengan waktu. Samadhi atau konsentrasi menjadi kuat dan lekat, seperti adonan tepung yang diremas-remas oleh tukang roti yang pandai.

Dapat dikatakan bahwa penyadaran dan pengenalan di dalam nama ini berlangsung dengan mudah dan memuaskan. Orang mungkin dapat lupa dengan waktu yang telah dilewatinya dalam latihan itu. Mungkin ia telah duduk selama satu jam atau lebih, padahal mulanya ia ingin bermeditasi hanya 30 menit saja.

12.Anuloma Ñana
Di sini Anuloma Ñana diuraikan dalam bentuk Tilakkhana (anicca, dukkha, anatta) sebagai berikut :

a. Anicca : orang yang biasa melatih diri dalam kebersihan atau kesucian dan sila-sila akan mencapai magga melalui perenungan tentang anicca. Gerakan naik turun perut menjadi cepat, tetapi sekonyong-konyong berhenti. Ia menyadari atau mengetahui dengan terang tentang gerakan naik turun itu yang berhenti, menyadari sikap duduk atau sentuhan-sentuhan badannya dengan jelas. Keadaan pernapasan yang cepat itu adalah corak anicca, dan pengenalan atau kesadaran terhadap proses berhentinya pernapasan ini adalah anuloma-ñana, tetapi janganlah hendaknya ragu-ragu atau dipikir-pikirkan. Proses berhenti ini harus disadari dengan nyata.

b. Dukkha : Orang yang biasa melatih diri dalam Samatha (meditasi ketenangan) akan mencapai magga melalui perenungan tentang dukkha. Kalau ia berlatih menyadari naik turunnya perut, sikap duduk, atau sentuhan-sentuhan pada badan, maka hal itu akan terhalang. Kalau ia terus melanjutkan menyadari naik turunnya perut, sikap duduk, atau sentuhan-sentuhan pada badan, maka terjadilah proses berhenti. Keadaan pernapasan yang terhalang itu adalah corak dari dukkha, dan pengenalan atau kesadaran terhadap proses berhentinya gerakan naik turun ini, atau terhadap sikap duduk, atau sentuhan-sentuhan pada badan itu adalah anuloma-ñana.

c. Anatta : Orang yang biasa melatih diri dalam Vipassana (meditasi pandangan terang), atau senang dengan Vipassana dalam kehidupannya yang dulu-dulu, akan mencapai magga melalui perenungan tentang anatta. Jadi, naik turunnya perut menjadi tenang dan teratur, jangka waktu dari gerakan naik dan gerakan turun sama, dan kemudian berhenti. Gerak naik turunnya perut, atau sikap duduk, atau sentuhan-sentuhan pada badan kelihatan dengan terang. Keadaan pernapasan yang halus dan teratur itu adalah corak dari anatta, dan pengenalan atau kesadaran yang terang terhadap proses berhentinya gerakan naik turun ini, atau terhadap sikap duduk, atau sentuhan-sentuhan pada badan itu adalah anuloma-ñana.

13. Gotrabhu Ñana
Nama-rupa bersama-sama dengan citta (pikiran) yang mengetahui proses berhenti itu menjadi diam, tenang, aman, dan damai. Ini berarti bahwa orang telah mendapat penerangan dengan nibbana sebagai obyeknya. Jadi, kalau pencerapan mulai pecah dan lenyap, maka gotrabhu-ñana tercapai.

14.Magga Ñana
Magga timbul langsung pada saat perasaann pecah dan pencerapan kilesa hancur akibat dari putusnya belenggu-belenggu, seperti Sakayaditthi (kekhayalan dari aku), Vicikiccha (keragu-raguan), Silabbataparamasa (ketahyulan tentang upacara).

15.Phala Ñana
Phala-ñana adalah hasil dari magga, yang muncul langsung setelah timbulnya magga-ñana. Dalam beberapa saat, dua atau tiga saat, yang menjadi obyek phala-citta adalah nibbana. Ñana ini bersifat lokuttara.

16.Paccavekkhana Ñana
Paccavekkhana-Ñana terdiri atas pertimbangan-pertimbangan mengenai masih adanya kilesa (kekotoran batin). Dalam hal ini terdapat lima macam pertimbangan sebagai berikut :
a. Pertimbangan mengenai magga, yang berarti bahwa kita telah tiba pada magga ini.
b. Pertimbangan mengenai phala, yang berarti bahwa kita telah mencapai phala atau hasil ini.
c. Pertimbangan mengenai kilesa yang telah dihancurkan, yang berarti kita telah menghancurkan semua kilesa.
d. Pertimbangan mengenai kilesa yang belum dihancurkan, yang berarti kita masih memiliki kilesa.
e. Pertimbangan mengenai nibbana, yang berarti bahwa Dhamma tertentu telah kita capai untuk menuju ke Nibbana sebagai obyek pikiran.

Demikian proses tersebut dapat timbul di dalam diri seseorang dan dapat disadari dengan seksama, jika orang melaksanakan Vipassana Bhavana.

Sumber : http://bluelotus4happiness.blogspot.com/2009/12/bhavana-meditasi-dalam-buddhisme.html